Jerat Kapitalisme Atas Perempuan


      Kapitalisme menurut F. Vito ialah suatu sistem ekonomi karakteristik adanya kebebasan beraktivitas bagi pelaku ekonomi, adanya hak milik privat dari alat-alat reproduksi, dan adanya persaingan. Kapitalisme tidak melulu berkenaan dengan ranah dan ruang lingkup ekonomi akan tetapi juga merambah dan mempengaruhi dimensi-dimensi lain dalam kehidupan masyarakat secara luas. Kapitalisme tak dapat disangkal juga turut mengilhami masyarakat dimana ia diadopsi, dikembangkan, dan dipelihara.
      Kapitalisme hanya mementingkan akumulasi modal, berorientasi pada laba, dan re-investasi laba untuk memperoleh laba lanjutan yang lebih besar. Dalam proses tersebut, kapitalisme seharusnya tidak memperhitungkan masalah gender. Dalam kapitalisme tidak terdapat istilah laki-laki maupun perempuan. Setiap orang dinilai hanya sebagai individu tanpa pertimbangan karakteristik kegenderannya. Dalam sistem kapitalisme baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki peluang untuk terturunkan nilainya dan terpinggirkan, sekali lagi karena kapitalisme mengabaikan faktor gender. Kapitalisme membuka pintu kesempatan bagi perempuan untuk memberdayakan diri dan megembagkan diri.
      Kapitalisme secara paradoks membawa dua dampak pada perempuan, positif dan negative. Karena kapitalisme membutakan diri terhadap gender, maka perempuan dijamin kebebasannya untuk berpartisipasi dalam persaingan untuk mengakumulasi labadengan menggunakan –segala- modal yang dimilikinya. Dilain pihak, perempuan juga dihalangi untuk memperoleh sebanyak yang diperoleh laki-laki dengan alasan kurang produktif. Oleh sebab itu, kapitalisme telah mendevaluasi nilai perempuan karena atribut keperempuannya mereka pakai sebagai dalih untuk menghalangi perempuan dalam menampilkan performa seindustrialis dan seefisien mungkin. Kapitalisme hendaknya menghargai karakteristik khusus laki-laki dari perempuan.       
      Arus kapitalisme secara tak terhindarkan terah merambah di kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk didalamnya kaum perempuan. Banyak wacana yang dapat menggambarkan dampak-dampak kapitalisme, misalnya pemakluman bahwa karena laki-laki yang bertugas sebagai pencari nafkah, maka laki-laki menduduki posisi tertinggi dalam keluarga dan sekaligus pemegang supremasi kekuasaan dalam rumah tangga. Dengan kata lain, karena menghasilkan uang, maka wajar apabila laki-laki harus diperlakukan istimewa. Sedangkan peran ibu rumah tangga yang membanting tulang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga mengalami pengabaian dan pengecilan karena apa yang mereka kerjakan tidak secara langsung mendatangkan pendapatan yang berupa uang bagi keluarga tersebut.
      Berkaitan dengan kasus diatas, banyak perempuan tidak berani bertindak apa-apa atas kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pasangannya. Perempuan tersebut takut ditinggalkan oleh pasangannya karena mereka tidak berpenghasilan. Mereka terpaksa menjalani kehidupan berumah tangga yang bak neraka karena merasa bahwa kehidupan mereka ditanggung oleh pasangannya, mereka tidak memiliki akses dan posisi tawar yang mungkin dapat membebaskan diri dari kesewenang-wenangan pasangannya.
      Masih berkaitan dengan stratifikasi keluarga yang didasarkan oleh penghasilan, banyak kasus dimana si suami berselingkuh, tetapi si istri hanya pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa karena takut dicerai. Lebih parah lagi, si istri terkadang dikambing hitamkan  sebagai faktor penyebab suami berselingkuh, misalnya dengan dalih karena tidak becus mengurus rumah tangga, tidak menarik (walaupun mungkin karena ia terlalu lelah mengurus rumah tangga sehingga lupa mengurus diri), kurangnya komunikasi (padahal karena suami lebih sibuk di kantor). Demikian pula, perempuan pasangan selingkuh suami juga akan dilekati pelabelan yang merendahkan dirinya, misalnya “perempuan penggoda” (meskipun si laki-laki yang menggodanya), “perempuan perusak rumah tangga” (meskipun mungki rumah tangga itu telah rusak sebelum affair itu terjadi) dan sebagainya.
      Karena suami adalah penguasa tertinggi dalam keluarga, maka segala keputusan ada ditanganya, sekalipun itu menyangkut tubuh dan hak reproduksi perempuan. Misalnya, seorang perempuan akan diet dengan mati-matian menahan lapar, mengikuti berbagai program pelatihan dan perawatan demi untuk mendapatkan keindahan tubuh yang ideal demi menyenangkan suaminya.
      Sedangkan bagi perempuan yang memilih untuk karier diluar, ia akan menyandang beban ganda, yaitu beban domestik dan beban professional. Dewasa ini terdapat pandangan bahwa perempuan akan lebih dihargai jika ia berkarir diluar (karena berpenghasilan), daripada hanya melulu sebagai ibu rumah tangga. Padahal pandangan ini tak sepenuhnya benar, apabila perempuan secara sadar dan sukarela memilih untuk  secara penuh berperan sebagai ibu rumah tangga, sudah selayaknya pilihannya itu juga dihargai karena apa yanga dikerjakannya dirumah secara tidak langsung juga mendukung karir profesionalnya.
      Kuatnya semangat untuk mengapresiasikan dan mengekspresikan diri, seharusnya tidak justru menjerumuskan perempuan kedalam euphoria untuk meneriakkan keadilam gender tanpa mempertimbangkan kodrat keperempuanannya yang melekat dalam dirinya sebagai konsekuensi keperempuanannya. Akan sangat memprihatinkan, misalnya, jika seorang perempuan melalaikan tanggung jawab dan kewajibannya sebagai ibu dan istrikarena ia lebih mengutamakan kemajuan karirnya, ambisinya, kesenangannya, dan dengan bersembunyi dibalik semboyan “perempuan berhak atas hidup, tubuh dan pilihannya”. Jika hal yang sama juga dilakukan oleh sang ayah, maka pertanyaannya “apakah mereka masih disebut keluarga yang dapat berfungsi sebagai tempat pulang dari kelelahan kerja?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Cara Jatuh Cinta Pada Buku

Ketika Sepi

Introspeksi