Mari Hijrah
Bulan dzulhijah yang kita jalani sekarang ini
merupakan bulan terakhir dalam penanggalan tahun hijriyah, tahun islam.
Setelah habis hari dalam bulan dzulhijah, pada malam tanggal 1 muharrom,
umat islam di seluruh dunia merayakan tahun baru hiriyah, tahun baru
islam. Di mana pada hari itu umat islam dengan semarak akan merayakan
dengan berbagai macam acara. Beda negara beda tradisi, beda pula
acaranya, tapi semua satu tujuan untuk mempersatukan islam, merayakan
tahun baru islam.
Di negeri kita Indonesia misalnya, seringkali diadakan tahlil atau istighosah bersama, kemudian dilanjutkan dengan pawai obor yang diikuti oleh semua muslim dari golongan anak-anak sampai orang tua, dari pekerja kantoran sampai pekerja biasa semuanya ikut berbaur merayakan. Baik itu nahdlatul ulama, muhammadiyyah ataupun ormas islam lain semuanya sama. Keesokan harinya diadakan lomba-lomba islami, semisal lomba qoshidah, marhabanan, pembacaan puisi, ceramah, cerdas cermat agama islam (CCIA) dan lain sebagainya. Perlombaan semacam itu seringkali diadakan disetiap sekolah, madrasah, desa, kecamatan dan lainnya.
Pengajian dan gema sholawat akan banyak terlihat pada malam-malam berikutnya. Dimana umat islam baik yang laki-laki ataupun perempuan akan datang berduyun-duyun meramaikan. Berbagai tema disampaikan oleh penceramah, namun tema yang lebih sering didengar ialah tema tentang hijrah, selain melihat sejarah tahun baru hijriyah, tema ini juga dinilai tepat untuk menjadikan tahun baru hijriyah ini sebagai momentum perubahan atau hijrah. Hijrah menjadi manusia yang lebih baik lagi. Karena tahun baru hijriyyah juga hitungannya dimulai dari Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah.
Jika melihat sejarahnya, penetapan tahun baru hijriyyah dimulai pada masa kekhalifahan Umar ibn Khottob. Saat itu ia mendapatkan balasan surat dari Abu Musa Al-Asy-‘Ari, sebagai gubernur Basrah. Abu Musa mengeluhkan surat yang diterima dari Khalifah Umar Ibn Khottob : "Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.” Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin. Khalifah Umar ibn Khottob mendapatkan berbagai usulan untuk menetapkan permulaan tahun dalam islam. Dari berbagai usulan yang ia terima, Khalifah Umar ibn Khottob hatinya condong kepada usulan dari Sahabat Ali ibn Abi Tholib yang mengusulkan bahwa awal permulaan dalam islam dimulai pada tahun Nabi Muhammad SAW hijrah. Umar ibn Khottob setuju, menurutnya peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikan itu sebagai patokan penanggalan. Sejak saat itu umat islam sepakat menjadikan tahun hirah nabi sebagai awal tahun dalam islam, dan karenanya maka dinamakan Tahun Hijriyyah.
Penetapan Bulan Muharrom sebagai bulan pertama, juga melalui jalan musyawaroh. Alasan mengapa memilih Bulan Muharrom sebagai bulan pertama diterangkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari, disitu tertulis "Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada Bulan Muharrom. Di mana bai'at terjadi dipertengahan Bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom). Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal Bulan Muharrom, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal Bulan Muharrom (awal Bulan Muharrom). Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam.”
Pemerintahan sekarang yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, pada tahun 2014 sempat mengusulkan Tahun baru hijriyyah yaitu setiap tanggal 1 muharrom di jadikan sebagai Hari Santri Nasional. Bahkan ide penetapan hari itu diutarakan ketika masih dalam proses kampanye. Entah apa yang menjadi latar belakangnya, sehingga ia menjadikan tanggal 1 Muharrom sebagai Hari Santri Nasional. Jika melihat sejarah, tidak ada peristiwa apapun pada tanggal 1 muharrom yang berhubungan dengan santri.
Jika ingin menetapkan Hari Santri Nasional, sebaiknya ditetapkan pada tanggal 22 Oktober, karena pada hari itu terjadi "Resolusi Jihad" di mana para santri ikut berjuang dalam mengusir penjajah. Jika tanggal 1 Muharrom ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional, maka akan terjadi penyempitan dalam perayaannya. Nantinya hanya santri yang memeriahkan, sedangkan kata santri sendiri merujuk kepada muslim yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Maka untuk umat islam yang tidak berada dalam pondok pesantren (bukan santri) akan ada sedikit kebingungan untuk ikut serta merayakannya. Alangkah baiknya kita biarkan saja 1 Muharrom hanya menjadi Tahun Baru Hijriyyah, dimana semua umat muslim sedunia, dari berbagai ormas, budaya dan usia bersama-sama merayakannya.
Di negeri kita Indonesia misalnya, seringkali diadakan tahlil atau istighosah bersama, kemudian dilanjutkan dengan pawai obor yang diikuti oleh semua muslim dari golongan anak-anak sampai orang tua, dari pekerja kantoran sampai pekerja biasa semuanya ikut berbaur merayakan. Baik itu nahdlatul ulama, muhammadiyyah ataupun ormas islam lain semuanya sama. Keesokan harinya diadakan lomba-lomba islami, semisal lomba qoshidah, marhabanan, pembacaan puisi, ceramah, cerdas cermat agama islam (CCIA) dan lain sebagainya. Perlombaan semacam itu seringkali diadakan disetiap sekolah, madrasah, desa, kecamatan dan lainnya.
Pengajian dan gema sholawat akan banyak terlihat pada malam-malam berikutnya. Dimana umat islam baik yang laki-laki ataupun perempuan akan datang berduyun-duyun meramaikan. Berbagai tema disampaikan oleh penceramah, namun tema yang lebih sering didengar ialah tema tentang hijrah, selain melihat sejarah tahun baru hijriyah, tema ini juga dinilai tepat untuk menjadikan tahun baru hijriyah ini sebagai momentum perubahan atau hijrah. Hijrah menjadi manusia yang lebih baik lagi. Karena tahun baru hijriyyah juga hitungannya dimulai dari Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah.
Jika melihat sejarahnya, penetapan tahun baru hijriyyah dimulai pada masa kekhalifahan Umar ibn Khottob. Saat itu ia mendapatkan balasan surat dari Abu Musa Al-Asy-‘Ari, sebagai gubernur Basrah. Abu Musa mengeluhkan surat yang diterima dari Khalifah Umar Ibn Khottob : "Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.” Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin. Khalifah Umar ibn Khottob mendapatkan berbagai usulan untuk menetapkan permulaan tahun dalam islam. Dari berbagai usulan yang ia terima, Khalifah Umar ibn Khottob hatinya condong kepada usulan dari Sahabat Ali ibn Abi Tholib yang mengusulkan bahwa awal permulaan dalam islam dimulai pada tahun Nabi Muhammad SAW hijrah. Umar ibn Khottob setuju, menurutnya peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikan itu sebagai patokan penanggalan. Sejak saat itu umat islam sepakat menjadikan tahun hirah nabi sebagai awal tahun dalam islam, dan karenanya maka dinamakan Tahun Hijriyyah.
Penetapan Bulan Muharrom sebagai bulan pertama, juga melalui jalan musyawaroh. Alasan mengapa memilih Bulan Muharrom sebagai bulan pertama diterangkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari, disitu tertulis "Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada Bulan Muharrom. Di mana bai'at terjadi dipertengahan Bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom). Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal Bulan Muharrom, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal Bulan Muharrom (awal Bulan Muharrom). Karena inilah muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharam.”
Pemerintahan sekarang yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, pada tahun 2014 sempat mengusulkan Tahun baru hijriyyah yaitu setiap tanggal 1 muharrom di jadikan sebagai Hari Santri Nasional. Bahkan ide penetapan hari itu diutarakan ketika masih dalam proses kampanye. Entah apa yang menjadi latar belakangnya, sehingga ia menjadikan tanggal 1 Muharrom sebagai Hari Santri Nasional. Jika melihat sejarah, tidak ada peristiwa apapun pada tanggal 1 muharrom yang berhubungan dengan santri.
Jika ingin menetapkan Hari Santri Nasional, sebaiknya ditetapkan pada tanggal 22 Oktober, karena pada hari itu terjadi "Resolusi Jihad" di mana para santri ikut berjuang dalam mengusir penjajah. Jika tanggal 1 Muharrom ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional, maka akan terjadi penyempitan dalam perayaannya. Nantinya hanya santri yang memeriahkan, sedangkan kata santri sendiri merujuk kepada muslim yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Maka untuk umat islam yang tidak berada dalam pondok pesantren (bukan santri) akan ada sedikit kebingungan untuk ikut serta merayakannya. Alangkah baiknya kita biarkan saja 1 Muharrom hanya menjadi Tahun Baru Hijriyyah, dimana semua umat muslim sedunia, dari berbagai ormas, budaya dan usia bersama-sama merayakannya.
Komentar
Posting Komentar