Cerpen Hujan Berakhir di Februari
Hujan Berakhir
di Februari
“Aku menunggumu di istana berselimut hijau, saat langit
menjingga.”
Kalimat indah itu tertulis di secarik kertas yang ia
titipkan untukku. Rina, gadis cantik dengan puisi di setiap detak jantungnya,
membuatku jatuh cinta. Aku tahu dimana harus menemuinya sore ini. Aku dan dirinya sudah saling mengenal sejak
kecil. Rina bahkan selalu ada dalam suasana apa pun, rumahnya adalah rumahku,
pun sebaliknya.
Aku merasa menjadi manusia paling beruntung di dataran bumi
ini, jika Khodijah selalu ada untuk Baginda Nabi, begitu pun Rina yang selalu
ada untukku. Dia selalu mengerti kekuranganku dan selalu menegurnya dengan
tutur kata yang lembut. Bersamanya tulisanku lebih mengalir, sangat
menyenangkan mempunyai seseorang yang bersedia menemaniku menulis. Dia yang suka sejarah, mengagumi kartini
sebagai perempuan hebat yang berani bercita-cita tinggi.
Dia suka hujan dan pelangi, seringkali aku bermain air hujan
dengannya dan berburu pelangi. Hujan hari ini sangat besar, gemuruhnya
mengingatkanku akan kenangan bersamanya. Ia pernah bercerita tentang hujan
dengan imajinasinya, aku selalu menuliskan cerita setelah aku dan dirinya
bermain hujan.
“Hujan selalu membawa kebaikan, hujan tak pernah salah di tanah mana ia jatuh,” kalimat indah darinya selalu teringat kala hujan turun.
Hidup bersamanya, berbagi cerita tanpa ragu membuatku ingin
selalu ada di sisinya. Hingga aku menyatakan keseriusan bahwa aku jatuh cinta,
namun ia belum membalas peryataanku.
Kini ia memintaku untuk bertemu di tempat kenangan, tempat
kami sering berburu pelangi setelah hujan berhenti. Mungkin di sore romantis
ini, di istananya, ia akan membalas pernyataanku. Dengan senyum optimis, aku
segera pergi ke tempat itu, satu gubug di tengah hamparan padi yang indah, aku
dan dia sering menyaksikan matahari muncul dari balik pegunungan. Jika sore
hari, kita melihat matahari terbenam.
Dari jauh aku melihatnya terduduk diam, tetes air hujan
jatuh berbaris di sekelilingnya. Aku segera menghampirinya, melewati jalan
setapak pembatas kotak sawah, hujan membuatnya licin. Daun-daun padi yang basah
mengiringku ke tempatnya, belalang berterbangan saat tanganku menyentuh tempat
singgahnya.
Aku semakin dekat dengan istana perempuan yang ku cintai, ia
duduk membelakangiku. Rambutnya panjang terurai basah terkena air hujan.
“Mengapa kau mengajakku bertemu di sini?” tanyaku.
“Terima kasih telah sudi menemuiku,” balasnya, namun ia tak
mau menoleh ke arahku. Pandangannya masih ia lemparkan ke arah matahari
terbenam.
“Tak bisa aku untuk tak memenuhi keinginanmu,” balasku.
“Benarkah?” ia bertanya, dengan nada yang tak seriang
biasanya.
“Sungguh, akan aku turuti semua. Asal itu membuatmu
bahagia.” Aku meyakinkan.
“Kau janji?” tanyanya kali ini membuatku khawatir, ada apa
ini.
“Janji,” jawabku yakin.
Kemudian ia menarik napas dalam-dalam. Hujan berubah menjadi gerimis. Matahari
semakin ingin pulang, namun entah mengapa hari itu dia turun sangat pelan.
“Aku ingin menikmati sore terakhirku, berdua bersama,”
katanya, selalu dengan gaya puitis.
“Koq gitu?” aku heran, kenapa ia mengatakan sore terakhir.
“Iya, aku akan pergi untuk waktu yang cukup lama.” Jawabnya,
dan ia masih belum menatapku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Abah ingin aku belajar lebih serius, dan itu tidak bisa di
sini.” Jawabnya dengan nada berat.
“Kemana?” tanyaku lagi.
“Aku sudah bercerita kepadamu,” jawabnya singkat, dan ia
belum memandangku.
“Kamu jadi mengambil kuliah yang tidak sesuai dengan
keinginanmu, bagaimana dengan impianmu?” tanyaku memastikan.
“Hidup ini nyata, bukan sebatas mimpi.” Jawabnya singkat.
“Lalu bagaimana dengan Kartini, kemana ia pergi saat ini?”
aku heran kenapa sekarang dia begini.
Aku tahu ini bukan seratus persen keinginannya, ia
sebelumnya bercerita apa yang sebenarnya ia inginkan. Namun ia juga tak bisa
mengabaikan nasihat kedua orang tuanya. Saat bercerita sekarang pun, dia tak kunjung
mau memandangku, mungkin ada air mata yang ia sembunyikan.
“Aku tak bisa memaksamu, dan terkadang orang tua lebih
mengerti apa yang terbaik untuk anaknya. Kita hanyalah manusia kecil yang minim
pengalaman, menganggap hidup ini akan berjalan sesuai dengan keinginan kita.”
Aku mencoba memahaminya.
“Aku juga tak bisa
mencintaimu, dan mungkin akan melupakanmu mulai malam ini.” Ia menolak pernyataan
cintaku. Memang sakit, tapi lebih sedih lagi melihat kondisinya saat ini.
“Kenapa sampai melupakan, itu sangat menyakitkan.” Aku
kesal.
“Akan lebih sakit jika aku mengingatmu, merindukanmu dari
jauh namun tak pernah bertemu.” Balasnya. Sampai saat ini ia belum mau melihat
ke arahku.
“Tapi kau tahu sendiri betapa sakitnya dilupakan.” Balasku,
ia terdiam.
“Kenapa dari tadi tak pernah menatapku?” tanyaku.
Kemudian ia memalingkan wajahnya, menatapku dengan mata
sayunya. Pipinya basah, jelas bukan karena air hujan. Aku memandanginya, air
mataku bahkan ingin ikut jatuh melihat senyum yang hilang dari bibirnya. Aku
berusaha tegar, tak mau menangis di hadapannya meski sangat sakit. Aku ingin ia
pergi tanpa melihat air mataku. Kemudian ia memelukku sangat erat.
Rintik hujan tersisa satu dua tetes jatuh menyapa daun padi.
Burung-burung mulai keluar berterbangan dari tempat ia berteduh, namun tak
bersuara. Suara-suara menghilang entah ke mana, hanya terdengar tangisan
seseorang yang sangat kucintai. Seorang gadis periang yang kini justru menangis
karena harus merelakan mimpi-mimpinya.
“Pergilah, jika itu yang terbaik.” Aku melepaskan
pelukannya. Kuhapus air matanya.
“Sudah, jangan kau tangisi. Tapi kau harus janji akan
baik-baik saja di sana,” lanjutku, dan ia mengangguk.
“Jika ini pertemuan terakhir kita, aku ingin penuh dengan
senyuman, tak ada air mata,” aku mencoba menghiburnya. Jauh dari dalam lubuk
hati ini, aku ingin menjerit.
Kemudian ia mencoba tersenyum, “Terima kasih untuk semuanya,
dan maafkan aku.”
“Tak perlu ada kata maaf,” balasku.
“Jika melupakanku memang harus dilakukan untuk hidupmu yang
lebih baik, aku rela.” Lanjutku, aku ingin dia baik-baik saja di sana nantinya.
“Lalu bagaimana denganmu?” ia bertanya balik.
“Apanya yang bagaimana, melupakanmu? Itu urusanku.” Jawabku.
“Seperti katamu, kita harus berbaik sangka dengan rencana
tuhan,” lanjutku meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.
Kenapa aku berpisah dengan dirinya saat hujan turun,
bukankah hujan selalu membawa kebaikan. Lalu dia memintaku untuk menemaninya
melihat matahari terakhir bersama. Hujan pun berhenti, di awal Februari.
Komentar
Posting Komentar