Pengalaman pertama Arfan di Stasiun
Teh Izza malah tanya, "itu siapa mang?".
"Orang yang bantu angkutin barang." Jawabku.
"Tapi bayar mungkin nya?".(hahaha) Tanya teh Izza.
"Zaman sekarang jarang yang gratis teh," jawabku.
Kereta yang pertama kali baru Arfan lihat melewatkan waktunya untuk sholat Maghrib. Meski sedang berada di area mushola, rupanya sekarang ia lebih tertarik melihat kereta. Dari samping mushola, dari celah2 pagar tembok Arfan memintaku untuk mengangkat badanya supaya kereta yang ia cari terlihat dengan jelas. "Dadahhh" sambil melambaikan tangan ia menyapa semua kereta yang lewat. Mungkin menurutnya itu hal baik ketika melihat sesuatu yang pergi.
Bukan Arfan namanya jika ia melewatkan hal baru begitu saja, ia tak mau aku turunkan meski badanku sudah nggak kuat mengangkatnya. Ia masih belum puas mengamati kereta. Selesai Sholat dan karena kereta A Mahbub sudah mau datang, kami segera pergi cek tiket.
Saat yang lain sibuk mempersiapkan barang bawaannya A mahbub (takut ada yang ketinggalan), eh Arfan malah nggak peduli. Ia lebih tertarik melihat lampu gantung stasiun. Untuk memastikannya saya tanya, "apa de?".
"Uhh" jawabnya sambil menunjuk lampu gantung.
Lalu ia memintaku untuk mengangkat badannya.
"Tinggi banget de," kataku. Eh ia malah mau naik bangku.
Aduh de, nggak bakal nyampe.
Kemudian Arfan tengok kanan-kiri, entah ia mencari apa. Mungkin mencari tangga atau semacamnya.
Kereta sudah lupa, kini penasaran dengan lampu gantung. Kereta sudah datang, Aa Mahub sudah mau masuk ke lokasi kereta.
"De kereta bapak datang," kata teh izza sambil menunjuk ke arah kereta.
Arfan langsung mencari tahu, dengan bantuan petunjuk dari kakanya dan suara mesin kereta, akhirnya Arfan melihat kereta bapaknya datang. ia sangat senang seperti tetehnya. Arfan sampai berlari ingin mengejar kereta, security sampai ikut senyum (tapi koq nggak ketawa aja pak). oh mungkin harus tetap terlihat berwibawa. padahal akrab dengan anak kecil itu jauh keren dari kata wibawa loh pak. Apalagi sama Arfan, ah bapak rugi sekali. akhirnya aku yang mencegah Arfan untuk masuk ke dalam.
Kesenangan itu hanya sesaat, karena Teh Izza tahu itu artinya bapak akan segera pergi. Mata teh Izza sudah sedih, hebatnya ia tahan air matanya. Mungkin ingin terlihat kuat di depan Bapaknya. Karena Teh Izza tahu, kalau ia nangis, Arfan pun langsung ikut nangis tanpa alasan. Saluut Teh...!!!
Arfan salaman dengan bapaknya santai saja, seperti hari-hari biasanya. Tidak ada sedih, karena ia tidak tahu bapaknya mau pergi. Aa Mahbub segera masuk ke lokasi kereta. Baru setelah mamahnya arfan bilang, "de itu bapana mangkat" Arfan langsung nangis dan mencari bapaknya (bagi arfan : perkataan mamah tak pernah bohong). Aa Mahbub pun jadi tahu kalau Arfan nangis. Eh, Teh Izza malah ikut ngusap2 mata.
Teh Izza bahkan tak mau pulang dulu, "lihat kereta bapak berangkat dulu," katanya. Padahal ini bukan pertama kalinya ditinggal bapaknya. Mungkin karena ini pertama kalinya melihat langsung bapaknya dari dekat berangkat meninggalkan mereka. Kemudian kami pulang.
Di dalam perjalanan, Arfan memastikan apakah iya bapaknya pergi. Karena waktu berangkat Aa mahbub yang nyetir, Arfan menoleh ke arah supir. Eh ternyata yang nyetir adalah Uwanya. Arfan sudah lelah, ia pun memilih tidur saja sampai rumah. Teh Izza lebih memilih untuk melontarkan pandanga ke luar jendela mobil. Bahkan kacanya tak boleh ada yang menutup.
Selamat berkereta Aa Mahbub, selamat beribadah, selamat mencari nafkah. Do'a terbaik dari kami semua. Semoga Teh Izza bisa merasakan naik kereta juga. Tenang Teh, ada saatnya nanti.
Selamat tidur Arfan.
Terima kasih untuk satu harinya. Hehe.
Mamang juga Pamit yah.
Cirebon, 19 Sept' 18
Hamdan Cha | Ketika dipangkuan Mimi sekali pun, Arfan masih penasaran dengan lampu gantung. |
Komentar
Posting Komentar