Cerpen Aden-aden, Misteri di Bulan Mulud

“Mereka diyakini sebagai pengembara yang keluar hanya di bulan mulud,” begitu jawaban bapak saat kami bertanya siapa Aden-aden itu.
Menjelang tidur bapak selalu bercerita, salah satunya tentang Aden-aden, sosok makhluk yang suka menculik anak kecil yang berkeliaran di malam hari Bulan Mulud, bulan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Penasaran aku dengan sosok Aden-aden, namun rasa takut diculiknya lebih besar sehingga aku tak berani untuk mencarinya.
Malam di kampungku menjadi waktu yang indah untuk kami anak-anak kecil, bersenda gurau di mushola setelah selesai belajar ilmu agama. Bahkan di kampungku ada tradisi melekkan, di mana pada setiap padang wulan (biasanya malam tanggal 14 bulan hijriyah) warga kampung tidak tidur satu malam penuh, mereka beribadah dan berdzikir dengan khusyu’ di mushola, diawali dengan ibadah sholat tasbih berjama’ah.
Kemudian malam harinya kami anak-anak melakukan ritual mandi di tujuh sumur yang berbeda, ritual itu diyakini untuk menjaga kesehatan dan menambah keberkahan.
Malam ini, tanggal 14 Bulan Mulud. Setelah jama’ah sholat isya, Pak Sholeh melalui toa mushola mengumumkan bahwa akan diadakan tradisi melekkan. Bulan terlihat bulat sempurna di langit yang gelap malam ini, tak ada awan yang menghalangi, aku sering bertanya pada bapak, apakah di bulan ada kehidupan, dan bapak selalu menjawab mungkin saja ada.
Pada bulan yang putih itu, aku juga melihat lukisan seperti orang sedang duduk tahiyyat, entah benar atau tidak, aku selalu suka berimajinasi dengan apa yang kulihat di atas langit, seperti awan dan bintang. Cahaya bulan terang menerangi kampung kami indah kemerahan, hampir seperti siang, tapi sinar purnama tidak panas menyengat, justru memberi aroma hangat.
Aku beserta tujuh temanku, lima laki-laki dan dua perempuan selalu mengikuti tradisi melekkan setiap bulan, dan orang tua kami tak pernah melarangnya. Karena ini bulan Mulud, dua teman perempuanku tidak ikut, konon katanya Aden-aden lebih menyukai anak perempuan. Teman ku yang laki-laki semuanya ikut, salah satunya Ahmad, orang yang paling ingin bertemu dengan Aden-aden.
“Apakah Aden-aden itu akan keluar malam ini?” kata Ahmad.
“Tapi dia bisa saja menculik kita,” balas Udin temanku.
Perawakan Ahmad yang kekar cocok dengan jiwanya yang tidak mengenal kata takut. “Buktinya sampai sekarang belum ada warga kampung kita yang diculik oleh Aden-aden,” balas Ahmad meyakinkan kami.
“Hei, ayo kita sholat tasbih dulu, jangan bermalasan beribadah selagi masih diberikan kesehatan,” ajakan Pak Sholeh membubarkan obrolan kami.
Kami pun ikut sholat tasbih dengan yang lain. Anak-anak seperti kami baris di shof paling belakang, karena memang begitu yang diajarkan bapakku sebagai imam dan sekaligus guru agama kami. Sholat tasbih sangat lama sekali, karena dalam setiap gerakan kita menambahkan bacaan tasbih sebanyak tujuh kali.
Bukannya khusyu’ beribadah, pikiranku terganggu sosok Aden-aden, bagaimana rupanya, dari mana asalnya, apakah akan keluar malam ini, apakah benar ia menculik anak-anak?
Siroj yang sholat berdiri disamping kanan menyenggolku, ia berbisik, “bagaimana?”
Bisa kutebak bahwa dia menanyakan hal yang sama dengan apa yang aku pikirkan, “Aden-aden?” tanyaku, ia mengangguk.
Rupanya percakapan kami diketahui Alif, mimik wajahnya menegur kami untuk lebih khusyu’ mengerjakan sholat.
Selesai sholat, orang tua melanjutkan dengan dzikiran, dan orang dewasa mengaji Al-Qur’an, ibu-ibu pulang ke rumah masing-masing dan kami kembali berkumpul di serambi mushola untuk kembali membahas Aden-aden.
“Kata bapak saya, biasanya Aden-aden keluar setelah jam 12 malam,” kata Agus.
“Aden-aden sering membawa tas dari sarung, anak-anak yang berhasil ia tangkap langsung dimasukkan ke dalam sarung,” Udin menambahkan.
“Sudahlah jangan takut begitu,” balas Ahmad.
“Tapi kalau semua itu benar, bisa membahayakan kita mad,” kataku khawatir.
Obrolan kami lebih intens, tanpa kami sadar sudah dua jam berlalu. Bapakku mendekati.
“Kalian ini sedang ngobrolin apa, bukannya dzikiran. Ini kan malam yang baik, coba diisi dengan yang baik pula, nderes Al-Qur’an atau apa!” Bapak menasihati kami.
“Pak memang Aden-aden itu benar ada ya?” tanyaku penasaran.
“Oh jadi dari tadi kalian sedang membicarakan Aden-aden,” jawab bapak.
Kami berlima semakin mendekati bapak. “Memang benar adanya, kemarin bapakmu katanya ketemu gus,” Jawab bapak sambil memandang Agus, Agus mengiyakan.
“Seperti apa pak, apa benar aden-aden itu hidungnya rata, kemudian juga memiliki buntut meski pendek?” tanya Alif.
“Ya kalian tanya saja sama bapaknya Agus,” balas bapak. Penasaran kami belum terjawab.
Bapak Agus masih berdzikir di dalam, kami tak berani untuk mengganggu kenikmatan percakapannya dengan tuhan. Malam semakin larut, purnama semakin meninggi. Hembusan angin malam dingin menusuk tulang, mushola mulai menyepi, lampu sengaja dipadamkan. Karena dalam gelap, orang lebih mudah bertemu dengan tuhannya.
Serambi mushola hanya ada kami berlima. Orang dewasa sudah tidak terlihat, konon katanya setelah jam sebelas malam mereka semua pergi ke sungai untuk berendam, kami tak pernah mengetehaui kebenaran itu karena kami selalu dilarang untuk ikut.
Dalam mushola tersisa empat orang bapak sedang berdzikir khusyu’, termasuk diantara mereka itulah Bapak Agus yang kemarin bertemu dengan Aden-Aden. Mushola hening tanpa suara. Lama menunggu, kami semua ketiduran.
Tepat jam 12 malam, Pak Sholeh membangunkan kami.
“Ayo bangun, ini waktunya kalian buat mandi tujuh sumur!” kata Pak Sholeh.
Rasa kantuk kami semua hilang seketika. Kami segera bergegas mencari tujuh sumur. Untungnya di kampung kami masih bisa menemukan tujuh sumur, meski banyak dari sumur kami yang sudah ditutup. Mataku selalu awas dengan keadaan sekitar, takut aden-aden tiba muncul.
Dari sumur pertama sampai sumur ketujuh, tidak ada Aden-aden. Sosok itu tak pernah muncul, di sumur ketujuh kami semua kesal. Saat semua hendak kembali ke mushola, tiba-tiba Ahmad mengagetkan kami.
“Hei itu, coba kalian lihat,” telunjuk Ahmad menunjuk ke arah hutan.
Terlihat seperti orang tua yang memakai jubah hitam. Ia berjalan bungkuk, kata orang-orang jubah itu selain untuk menutupi buntutnya, juga untuk menyembunyikan anak kecil yang ia culik. Hidung ratanya tidak aku lihat persis, karena ia terus berjalan masuk ke dalam hutan.
“Tidak salah lagi, pasti aden-aden,” balas Siroj, kemudian kami berlari ke arah hutan.
Aden-aden segera mempercepat angkahnya mengetahui bahwa kami mengejarnya. Mencari sesuatu yang sebenarnya aku takuti, entah bagaimana aku mengungkapkannya. Sinar purnama tak sanggup menembus ke dalam hutan, terhalang oleh pohon yang tidak pernah aku tahu berapa tingginya.
“Kemana Aden-aden itu?” tanyaku.
“Masih sekitar sini,” jawab Ahmad. Jauh kita berlari, ada rasanya sampai dua kilometer.
“Dia nggak mungkin jauh, pakaiannya saja susah untuk diajak lari,” balas Siroj.
“Eh, kemana si Rian? Bukankah ia tadi ikut mengejar Aden-aden?” tanyaku. Semua orang saing berhadapan, mata-mata kami bergerilya memutar ke setiap sudut. Rian kemana kamu, bayangannya pun tak kami lihat.
“Udin, bukankah ia tadi bersamamu?” tanya Ahmad.
“Iya, tapi aku terlalu fokus mencari Aden-aden, aku pikir Rian mengikutiku di belakang,” jawab Udin.
“Ini gawat, ayo kita segera kembali cari Rian!” balasku.
Kami semua takut Rian telah diculik oleh Aden-aden. Kami memutar arah, meneriakkan nama Rian. Kemana temanku itu, apakah benar ia diculik oleh Aden-aden.
“Riaaaaaaann,” suara Ahmad terus menggema di tengah sunyi hutan.
Sudah satu jam kami mencari Rian, tak ada tanda-tanda dia sama sekali. Kami sudah sampai di sumur terakhir kami mandi. Akhirnya kami sepakat untuk ke mushola, melaporkan kepada bapak bahwa Rian hilang di tengah hutan. Namun bagaimana melaporkannya, siapa yang akan bicara. Ketakutan akan dimarahi bapak melupakan kami akan Aden-aden.
Sesampainya di mushola, benar saja bapak memarahi kami. Menurutnya apa yang telah kami lakukan sangat bahaya.
“Sudah begitu kalian meninggalkan Rian seorang diri di sumur, untung saja Pak Aman menemukan.” Kata bapak.
Alhamdulillah, ternyata Rian tidak hilang. Udin baru sadar bahwa setelah mandi di sumur terakhir, ia sudah tidak bersama Rian. Biarlah kami semua kena marah bapak, yang penting sahabat kami selamat.
Sedangkan si Aden-aden itu, sudah tidak kami pedulikan lagi untuk saat ini. Malam ini dia bisa kabur, malam-malam berikutnya atau purnama Bulan Mulud tahun-tahun berikutnya misterimu akan terkuak, Aden-aden. Kebenarannya masih jadi misteri. Kami hanya ingin membuktikan sendiri apakah Aden-aden itu jahat, ataukah kejahatannya hanyalah karangan orang untuk menakuti kami.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memilih

5 Cara Jatuh Cinta Pada Buku

Ketika Sepi