Cerpen Satu Malam Sejuta Makna di Pesisir

Senja itu surya perlahan tenggelam, lembayung menggantung melukis cakrawala di atas debur ombak, bergerak membasahi pasir pantai. Di tepian pantai, aku menemani bapak hendak pergi bernelayan. Membantu mengangkut jala dan tambang ke atas perahu. Perahu dengan suara bising mesin yang sudah akrab di telinga bapak, walau jelas menggganggu. Setiap petang hingga pagi, bapak hidup di atas perahu kecil yang disewa dari Pak Burhan, juragan kapal di kampungku.

“Makasih nak, kapan kamu ikut bapak mencari ikan lagi?” tanya bapak.
“Nanti saja pak, sekiranya kuliahku libur panjang,”  penuh sopan aku menjawab.

Aku melihat kekecawaan di balik senyum bapak. Terakhir aku ikut bernelayan saat aku masih sekolah menengah pertama. Aku mencium punggung tangan bapak yang kurus berkeringat. Tenaga bapak berkurang seiring bertambahnya usia. Pernah aku menasihati bapak untuk tidak melaut lagi melihat kesehatannya, tak pernah bapak mau menghiraukan. Bagi bapak, laut sudah memberikan banyak kehidupan, maka selagi tangan sanggup melempar jala, bapak akan tetap melaut.

Sebenarnya uang kebutuhan keluarga sudah tercukupi oleh ibu, bekerja sebagai TKW di Taiwan. Tapi sebagai kepala keluarga, bapak memilih untuk tetap bekerja. Ibu pergi ke Taiwan karena pertengkaran dengan bapak, banyak keinginan ibu yang tidak dapat bapak kabulkan kala itu. Ada banyak hal untuk dipertengkarkan dalam keluarga kami yang miskin, kemiskinan sangat dekat dengan keputusasaan.

Aku membantu bapak melepas tali perahu dan melepaskannya ke laut lepas. Angin laut dengan sinar emas surya membawa bapak perlahan menghilang dari pandangan. Bapak melambaikan tangan dan aku membalasnya. Banyak persoalan yang membuatku penat. Pantai dengan ketenanganya sanggup segarkan pikiranku. Penat itu membawaku ke sini, bukan semata-mata menghantarkan bapak.

Kuliahku memasuki semester delapan, tidak lama lagi aku menyandang gelar sarjana, sarjana ekonomi. Tapi sialnya skripsi belum juga selesai. Sementara itu, ibu sudah genap empat tahun menjadi TKW. Tahun ini ibu pulang, kiriman uang dari ibu akan berhenti. Kuliahku harus selesai, aku akan kesulitan untuk mencari biaya kuliah sendiri.

Langit mulai gelap, angin laut berhembus semakin kencang menerjang tubuhku. Terdengar suara orang tua mengumandangkan adzan dari surau yang tak kalah tua. Sudah lama aku tak sholat maghrib berjama’ah di surau. Aku langkahkan kaki penuh dosa ini menuju rumah Tuhan. Sesampainya di sana, adzan sudah selesai. Tembang pujian kepada Tuhan khas tanah pesisir dilantunkan kakek tua, dengan bahasa jawa lokalnya masih berirama. Bergegas aku mengambil air wudhu.

Selesai sholat aku merasa ada yang hilang, dari awal aku langkahkan kaki ke surau, aku hanya menemukan dua orang anak kecil yang ikut berjama’ah.

Baca Juga: Cerpen Aden-aden, Misteri di Bulan Mulud

“Surau sekarang sepi, tak seramai dulu,” seorang bapak mengetahui kesepian batinku.
“Kemana anak-anak kampung ini pak?” tanyaku. Aku bergeser duduk mempersilahkan bapak itu duduk di sampingku, di serambi kanan surau.
“Sebagian di rumah menonton tv, sebagian lagi sudah nogkrong di cafe ala anak kota,” jawabnya dengan nada kesal, ia gelengkan kepala seolah tidak percaya.
“Sangat disayangkan,” balasku ikut prihatin, sampai kapan kakek tadi setia mengumandangkan adzan dan melantukan pujian, siapa yang akan meneruskan tugas mulianya.
Selesai mengajar dua anak kecil, Haji Abdul Rohim ikut menghampiri kami di serambi, biasanya imam surau itu sibuk mengajarkan abatasa sampai adzan isya tiba. Setelah isya, berlanjut dengan pembelajaran ilmu fiqih. Sekarang semua berubah, hidup hedonis ala kaum borjuis telah membunuh tradisi belajar mengaji setelah maghrib.
“Kamu Hasan anaknya Pak Ridwan kan?” tanya Wa Kaji Durokim, begitu orang kampung memanggilnya.
“Nggih pak,” jawabku dengan bahasa penuh sopan santun.
“Alhamdulillah, ternyata masih ada yang tahu bahasa asli kita,” ujar bapak di sebelahku sambil tersenyum lega. Aku dan Wa Kaji Durokim ikut tersenyum.

Benar juga apa yang dikatakan si bapak. Bahasa daerah yang penuh dengan kesopanan mulai menghilang. Anak kecil sekarang sudah memakai bahasa nasional supaya terlihat lebih berpendidikan. Norma-norma yang ditanamkan melalui keluarga, sekolah dan lingkungan pergaulan mempengaruhi pembentukan identitas. 
“Bagaimana kabar bapakmu,” tanya Wa Kaji Durokim.
“Alhamdulillah bapak sehat,” jawabku disertai anggukan kepala sebagai rasa hormat.

Kemudian obrolan berlanjut. Kata Wa Kaji Durokim orang-orang tidak bangga lagi dengan daerah asalnya, lebih ingin bergaya hidup ala idolanya, gaya hidup barat yang terlihat keren. Para remaja lupa bagaimana hidupnya orang pesisir utara jawa. Adzan isya berkumandang, kami bergegas ke dalam untuk melaksanakan sholat.

Kemudian aku kembali ke pantai. Kini bukan hanya aku yang sedang dirundung masalah, tapi lebih jauh dari itu, negeri ini sedang mengalami permasalahan darurat siaga satu, negeri ini mulai kehilangan jati dirinya. 

Langit semakin gelap, kerlap-kerlip lampu perahu nelayan seperti bintang terombang-ambing gelombang. Dinginnya angin laut berbisik mesra di daun telinga, kubuat api unggun dari kayu sisa pembuatan perahu, berharap tubuh tak kedinginan. Obrolan di surau tadi terus terngiang dalam pikiran. Sebelumnya aku menganggap semua perubahan ini adalah kemajuan, namun ternyata justru sebaliknya.

Perutku mulai lapar, karena aku tak membawa bekal, akhirnya aku mencari warung makan. Di daerah pesisir, tidak susah mencari warung yang buka sampai malam hari, bahkan ada yang khusus berjualan di malam hari saja.

“Mau beli apa mas, kopi?” kata seorang pelayan cantik dengan dandanan bak biduan.
“Masih ada nasi mba?” kataku.
Warung sederhana yang terbuat dari kayu ini menjajakan berbagai macam makanan dan minuman. Mataku berkelana ke setiap sudut ruangan, semuanya tampak kusam berdebu. Namun wanginya sangat harum.
“Lauknya apa mas?” tanya pelayan. Mata pelayan memandangku genit.
“Sayur sup hangat, sama telor dadar. Sambalnya sedikit saja mba!” kataku.
“Silahkan mas, kalau masih kurang hangat biar nanti selesai makan aku hangatkan,” katanya semakin genit. Kini bukan hanya matanya, ia juga memainkan bibirnya yang merah merona.

Baca Juga: Cerpen Hujan Berakhir di Februari

Makan malamku terganggu dengan suara sepasang orang sedang bercumbu. Suara itu jelas terdengar, kutajamkan pendengaranku. Mengetahui aku mencari sesuatu, pelayan genit itu melempar senyum menggoda. Akhirnya aku tahu asal suara menjijikan itu, berasal dari satu ruangan di balik tubuh molek si pelayan genit yang sedari tadi memandangku. Warung ini rupanya tak sekedar menjual makanan dan minuman, tapi juga menawarkan kepuasan nafsu. Tuhan, lindungi aku dari tipu daya rayu wanita.

Jauh di belakangku, terdengar suara laki-laki merayu, aku menoleh ke belakang. Kudapati bayangan seorang perempuan memapah lelaki bertubuh gendut berjalan sempoyongan. Mereka semakin mendekat.

“Om duduk di sini dulu yah!” pinta si perempuan. Aku mengenal suara itu, aku melihatnya. Perempuan itu adalah adikku.
“Dewi, sedang apa kau malam-malam disini?” kemudian aku menariknya untuk mengajak ia pulang. Dewi kaget melihat keberadaanku.
“Hei hei, jangan asal main rebut saja!” lelaki pemabuk itu menahan adikku. Si pelayan genit diam saja, seolah sudah biasa.
“Kembalikan uangnya!” perintahku kepada Dewi.

Kemudian aku memaksa Dewi keluar. Badan sempoyongan si pemabuk tak sanggup melawan. Aku mengajak Dewi menjauhi warung itu, kuajak ia ke pantai tempat aku menghantarkan bapak sore tadi.
“Sejak kapan kamu menjual diri kepada om-om?” aku marah dan kecewa. Bukannya menjawab, Dewi malah menangis.
“Kakak tahu nggak, setiap malam Dewi selalu sendiri di rumah kak. Bapak pergi melaut, kakak selalu sibuk dengan kegiatan kampus, pulang larut malam kakak langsung tidur di kamar. Dewi seperti tidak punya siapa-siapa di rumah sendiri. Akhirnya Dewi mencari kasih sayang di luar rumah.” Aku terdiam mendengar jawabannya. 
Memang benar, aku jarang peduli terhadapnya.
 “Tapi bukan seperti itu caranya de,” balasku.
Aku tak tega melihat tangisnya, memarahinya bukanlah tindakan yang tepat. Ia butuh tempat bersandar. Kudekati adikku, menyeka air mata di pipinya. Aku tutupi pakaian minimnya dengan jaket hitamku.
“Maafkan Dewi ka!” Ia memelukku erat. Waktu seakan terhenti.

Aku mengajak adikku duduk di depan api unggun yang mulai mengecil. Dewi menyesali semua perilaku buruknya. Dewi bercerita tentang kondisi kesehatan bapak. Menurut Dewi, bapak ingin aku bernelayan walau sekali saja, supaya aku punya rasa bangga menjadi nelayan. Bapak juga ingin mendengarkan aku megumandangkan adzan di surau, seperti dulu sebelum aku sibuk kuliah. Bapak menyesali aku yang aktif di kampus, namun tak pernah mau melihat kampung halamannya, bahkan aku tak tahu persoalan rumahku sendiri.
Tak terasa air mata perlahan jatuh membasahi pipiku. Malam ini, di pesisir pantai, aku melihat banyak hal. Aku dan Dewi menunggu bapak pulang untuk memperbaiki semuanya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Cara Jatuh Cinta Pada Buku

Ketika Sepi

Introspeksi