Bertarunglah secara sehat...!!!
Melihat Indonesia sekarang
ini seperti melihat dua kubu yang saling ingin menang dan menjatuhkan. Dua kubu
itu adalah kubu yang pro dan kontra terhadap pemerintah. Sebenarnya itu sah-sah
saja selama dalam keadaan yang sehat.
Tapi faktanya hari ini,
perang ujaran kebencian semakin hari semakin menjadi. Kritik tidak hanya
mengarah kepada kebijakan, melainkan sampai ke ranah pribadi. Ini jauh sekali
dengan impian Indonesia yang ingin menjadikan masyarakatnya madani.
Masyarakat madani yang
diimpikan negara kita adalah masyarakat yang melegalkan pluralisme, bahkan
pluralistik. Masyarakat pluralistik yang dimaksud adalah masyarakat politik
atas dasar pemerintahan nasional.
Sehingga keyakinan keagamaan,
pemikiran dan moral dijamin kebebasannya dengan syarat keyakinan tersebut tidak
dipaksakan kepada masyarakat lain.
Indonesia mempunyai gagasan
masyarakat madani adalah upaya untuk membentuk tatanan baru dalam suatu proses
politik demokratis. Fokusnya adalah pandangan inklusivisme yang menghormati
eksisitensi oposisi politik.
Oposisi merupakan perbedaan
pendapat dengan penguasa, yang dalam Islam sendiri merupakan suatu keniscayaan.
Institusi masyarakat itu sangat kental maka oposisi tidak diartikan sebagai
yang berseberangan, tetapi lebih bersifat kontra sosial. Dalam ranah demokrasi
semua berhak berpendapat.
Demokrasi bukanlah musuh atau
teman setia bagi kekuasaan negara. Negara dituntut untuk mampu menangani civil society yang
begitu rupa. Negara tidak bisa sewenang-wenang mengambil keputusan dan anti
terhadap kritik.
Negara harus sadar setiap
masyarakat memiliki kebutuhan yang berbeda. Negara tidak boleh sombong dengan
menutup telinga terhadap aspirasi masyarakat bawah, apalagi sampai
menghadangnya dengan tenaga militer.
Pemerintah jangan melupakan
peranannya sebagai penengah dan penjaga ketertiban. Berikan ruang kepada semua
lapisan masyarakat untuk menyampaikan gagasannya. Negara Indonesia dengan
wilayah dan keragamannya yang sangat luas jelas membutuhkan gagasan-gagasan
dari berbagai lapisan.
Ada baiknya pemerintah dan
kubu yang pro pemerintah mendengarkan semua gagasan, jangan menjadi anti kritik
sekali pun kritikan itu terkesan konyol.
Poros oposisi juga tidak
semena-mena mengkritik pemerintah, kritikan harus tajam dengan analisis data
dan tepat sasaran. Buatlah narasi besar yang bisa membantu pemerintah untuk
bersama-sama membangun bangsa ini.
Menjadi oposisi bukanlah
menjadi pemberontak pemerintah, ia lebih kepada pengingat pemerintah ketika
keputusan pemerintah ternyata kurang tepat.
Menjadi oposisi tidak sama
dengan dapat sebebas-bebasnya menjelekkan pemerintah. Kebebasan bersuara jangan
diartikan sebagai bebas bersuara apa saja termasuk penghinaan pribadi, apalagi
mengarah kepada unsur SARA.
Kritik adalah tentang
ketidaksetujuan terhadap kebijakan bukan terhadap keyakinan. Berikan pemahaman
dan solusi yang lebih baik kepada pemerintah jika mereka keliru.
Ketika pemerintah keliru
masyarakat tidak boleh diam. Tetapi masyarakat juga harus cerdas memilih jika
hendak ikut aktif mengkritik. Tidak hanya ikut-ikutan demo supaya dibilang
keren dan berwawasan tinggi.
Perjuangkan apa yang memang
harus diperjuangkan. Upaya kritikan terhadap pemerintah harus dilandasi dengan
studi kasus yang mendalam. Akan terlihat konyol jika mengkritik dengan hanya
berkoar-koar tanpa data yang jelas. Ketidaksetujuan harus dilandasi dengan
alasan yang lebih cerdas.
Sudah seharusnya pihak pro
pemerintah dan oposisi bertarung secara sehat demi kebaikan bangsa. Keduanya
merupakan hubungan yang saling mendukung dan membutuhkan. Dibutuhkan sikap
saling menghargai terhadap pendapat kelompok lain.
Jika pendapat itu baik maka
akui baik dan ikut mendukungnya, jika pendapat itu keliru maka katakan dengan
santun apa yang sebaiknya yang tepat untuk dilakukan. Perlu ditanamkan paham
pluralis untuk lebih saling menghargai satu sama lain.
Mengutip kata Nurcholis
Madjid, pluralitas tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, beraneka ragam yang terdiri dari berbagai suku dan
agama. Jika hanya demikian, kita justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi,
bukan pluralisme.
Pluralisme juga tidak boleh
dipahami hanya sekadar sebagai ‘kebaikan negatif’ (negatif good), yang hanya ditilik dari
kegunanaanya menyingkirkan fanatisme (to
keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai
‘pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban’ (genuine engagement of diiversitis
within the bond of civility).
Paham pluralisme tidak cukup
hanya direspon dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan, tetapi juga harus
disertai sikap yang tulus untuk menerima kenyataan, ia harus sesuatu yang
bernilai positif.
Pandangan pluralisme ini
akan menyadarkan kita semua bahwa, terjadinya kasus percekcokan dalam
masyarakat harus dipandang secara wajar. Yang tidak wajar adalah jika
percekcokan ini sampai kepada ranah saling menyalahkan dan menjadi permusuhan
abadi.Dinding HamPa | Plural |
Komentar
Posting Komentar