Cerpen Hujan, Kopi dan Jalan Pulang
"Hujan kadang dirindukan, terkadang juga tak diinginkan."
Sudah empat jam berlalu, langit tak henti membasahi bumi, bahkan bukan hanya sekadar basah. Air yang jatuh tidak tahu kemana lagi dia harus mengalir. Warung kopi yang aku buka dari sore baru menyeduh tiga gelas kopi, satu untuk saya sendiri.
Dari warung kopi aku melihat di tengah banjirnya jalan seorang bapak nampak kesal, motor bebeknya tidak lagi mau berjalan. Si bapak dengan perawakan pendek itu mencoba sekali lagi dan tetap tidak nyala, ia pasrah.
Aku ke luar mendekat, “mogok pak?”
“Iya, mungkin karena hujan, tadi kerendam banjir juga,” jawab si bapak. Aku mengajaknya menepi ke depan warung, aku bantu mendorong motornya.
“Di luar saja mas, basah,” kata si bapak ketika aku mengajak ke dalam warung. Bibirnya menggigil biru. Khawatir memaksanya masuk hanya akan membuat kurang nyaman, aku bawakan dua kursi dan satu meja ke luar.
“Istirahat dulu pak, ini barangkali mau merokok,” setelah rokok kuletakan di atas meja, aku masuk untuk membuatkannya kopi. Semoga dengan secangkir kopi hitam membuat dia lebih hangat dan tenang.
Kopi sudah siap, aku keluar menghantarkan. Bungkus rokok punyaku belum berubah, rupanya ia mengeluarkan rokok nya sendiri. Jas hujan sudah ia lepaskan.
“Silahkan, pak!” ujarku menawarkan kopi. Kebahagiaan terbesarku sebagai penyeduh kopi adalah melihat orang menikmatinya, dan aku merasakannya sekarang. Rasa kesal sudah berkurang dari wajahnya, menyisakan sedikit kekhawatiran.
“Terima kasih, mas. Sepertinya motor harus istirahat dulu barang satu batang,” kata si bapak. Kemudian ia bercerita bahwa ia kehujanan semenjak berangkat dari kota, sempat berhenti lama di tengah perjalanan menunggu hujan reda.
“Sama pak, di sini juga dari tadi sore hujan besar banget. Warung jadi sepi," ujarku.
Bapak itu menoleh ke belakang, mata nya berkelana ke semua sudut warung. Kemudian ia bertanya, “buka usaha sendiri?”.
“Iya pak, baru tiga bulan. Enak kopinya?” balasku.
“Enak banget,” jawabnya. “hampir setiap hari saya lewat sini, tapi tak pernah mampir, biasanya ramai anak muda nongkrong yah.” Ia melanjutkan.
“Mulai sekarang mampir lah, hehe.” Balasku mulai akrab.
“Istri selalu menyediakan kopi setiap saya pulang,” balasnya, aku mengangguk paham.
“Pasti lebih nikmat kopi buatan istri, diracik dengan penuh cinta,” balasku memuji.
“Salah satu alasan kenapa aku tetap pulang meski hujan,” jawab si bapak, kami tersenyum bersama.
Hujan belum juga berhenti, jalan depan toko semakin banjir. Tidak ada satu pun kendaraan lewat. Pantulan cahaya lampu terlihat indah bergelombang di atas jalan yang teraliri air berwarna coklat. Aku rasa baru hujan tahun ini sampai menyebabkan banjir parah.
“Terkadang kita kesal saat kemarau begitu panjang, tapi begitu musim hujan tiba, kita justru kelabakan.” Kata si bapak, membuatku berhenti berpikir kenapa bisa sampai banjir.
“Benar juga ya, saat kemarau dulu kita minta turun hujan,” balasku.
“Aku ingin menarik ucapanku yang barusan.” Kata si bapak dengan nada serius.
“Maksudnya?” tanyaku heran.
“Motor mogok bukan karena hujan,” kata si bapak penuh kesadaran.
“Warung sepi bukan karena hujan,” aku mengikuti. Kami kembali tersenyum.
Si bapak kembali minum kopi, batang rokok sudah setengah terbakar. Kemudian obrolan semakin sedikit serius. Menurut si bapak, banjir ini bukan salah air. Hukum air adalah mengalir dari atas ke bawah, ketika sarana untuk mengalirnya air tidak ada, maka air tidak mengalir dan diam di tempat itu. Aku mencoba sedikit mengutarakan pendapat, “sekarang ketika membangun rumah, kita sering melupakan hal-hal penting.”
“Apa itu?” tanya si Bapak penasaran.
“Tempat buang sampah, tempat parkir, tempat mengalirnya air dan kepentingan pribadi lainnya. Sebenarnya orang tua kita dulu sudah mengajarkan semua hal itu.” Jawabku sambil mengenang obrolan dengan ayahku. Terlihat si bapak juga setuju.
Hujan tak lagi deras, gerimis tersisa. Satu batang rokok sudah dimatikan pada asbak.
“Sepertinya reda, aku coba nyalain motor dulu yah,” si bapak memulai dengan mengelap motornya terlebih dulu.
“Mari aku bantu,”
Motor tak mau menyala, aku tidak ada pengetahuan tentang mekanik, begitu pun dengan si bapak. Merasa motor tidak ada kemungkinan untuk menyala, aku menawarkan kepada si bapak untuk mengantarya sampai rumah. Motor si bapak diparkir di dalam warung. Warung aku tutup.
“Jangan, itu merepotkan. Aku pesan ojek online aja kalau pun motor harus dititipkan di sini.” Ujar si bapak. Kemudian aku panggil fery yang sedang main game di dalam warung. Dia temanku yang ikut membantuku.
Motor bebek si bapak kami titipkan ke Fery. Akhirnya ia mengalah dengan situasi. Ia terlebih dahulu menelpon istrinya yang sedang menunggu di rumah. Kami melaju sesuai yang diarahkan si bapak menuju rumahnya. Dengan scoopy aku menghantarkannya pulang. Jalanan banjir, harus lebih waspada terhadap lubang tak terlihat.
Perjalanan kami terhenti, jalan tertutup oleh pohon tumbang. Kami berdua turun dan membantu tiga orang warga, batang-batang pohon kami pindahkan satu persatu. Si bapak kembali menelpon istrinya, memberi kabar terbaru. Setelah semua selesai, salah satu warga menawarkan kami kopi. Si bapak menolak dengan alasan keluarganya sudah menunggu.
Jarak dari warung ke rumah si bapak hanya lima belas menit, namun menjadi lebih telat karena sempat terhenti. Begitu kami sampai di depan gerbang rumah, keluar seorang perempuan membawakan payung, ia segera membuka pintu gerbang.
“Jangan langsung pulang yah, masuk dulu!” pinta si bapak sambil membuka helm.
Ajakan si bapak tak begitu aku hiraukan, aku justru lebih fokus kepada perlakuan istrinya yang begitu penuh cinta. Ia terlihat bahagia melihat suaminya pulang. Tangan basah kuyup suaminya ia cium dengan penuh rasa hormat.
“Dede sudah tidur?” tanya si bapak kepada istrinya.
“Tadi dia nunggu ayah tapi ketiduran, akhirnya ibu angkat ke kamar.” Jawab istrinya.
“Ini mas pemilik warung kopi yang di simpang jalan, motor ayah dititipkan di warungnya,” si bapak mengenalkan aku kepada istrinya. Aku mengangguk.
Istri si bapak menunggu suaminya untuk masuk terlebih dulu.
“Di luar saja pak, basah,” aku senggan untuk masuk.
“Basah bukan masalah,” jawab si bapak. Aku jadi berpikir kenapa tidak memberikan jawaban ini di warung tadi, justru membiarkan si bapak di luar, sangat tidak sopan. Kemudian kami masuk, si bapak mempersilahkan aku untuk duduk di ruang tamu.
Ia kembali dan membawakan aku handuk, meminta aku untuk menunggu kopi buatan istrinya.
“Oh iya, aku belum tahu namamu?” tanya si Bapak. Wajahnya terlihat lebih segar dan penuh semangat, berbeda terbalik ketika menghadapi motor bebeknya mogok.
“Duta.” Aku mengenalkan diri, sedangkan si bapak mempunyai nama Suardiman, biasa dipanggil Pak Suardi.
Tidak lama kemudian istri Pak Suardi membawakan dua cangkir kopi. “Silahkan, mas!” dengan lembut menawarkan kopi. Aku jawab terima kasih, dan istrinya kembali masuk meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Kopi racikannya benar-benar nikmat, mungkin bukan hanya sekedar racikan, suasana juga mendukung.
“Nikmat pak kopinya, pantas saja bapak selalu pulang. Seperti kopi buatan bapak ku di rumah,” memori ku melayang ke masa dimana aku menunggu hujan reda bersama bapak di teras rumah.
“Bukan hanya tentang kopi. Pulang adalah keharusan, obat penghilang lelah paling mujarab.” Kata Pak Suardi. Baginya rumah adalah tempat terindah, kemana pun kita pergi, pada akhirnya kita harus dan akan pulang. Siapapun yang tak pernah pulang, akan dihinggapi kegelisahan. Seperti banjir malam ini, air bingung kemana jalan pulang.
Perkataan Pak Suardi sungguh masuk ke relung hati. Sudah lama aku tak pulang, sudah lama pula kegelisahan selalu datang. Aku hanya menghibur diri bahwa semua ini adalah kerasnya kehidupan.
“Kamu asli orang sini?” ia bertanya.
“Bukan pak, tinggal di sini sudah lima tahun lebih,” jawabku. Kemudian kami mulai ngobrol, aku bercerita dari awal aku ada di sini sampai sekarang punya warung kopi sendiri.
Obrolan terhenti ketika Pak Suardi menanyakan satu hal, “kapan terakhir pulang, menikmati kopi buatan bapakmu?”.
Sudah empat jam berlalu, langit tak henti membasahi bumi, bahkan bukan hanya sekadar basah. Air yang jatuh tidak tahu kemana lagi dia harus mengalir. Warung kopi yang aku buka dari sore baru menyeduh tiga gelas kopi, satu untuk saya sendiri.
Dari warung kopi aku melihat di tengah banjirnya jalan seorang bapak nampak kesal, motor bebeknya tidak lagi mau berjalan. Si bapak dengan perawakan pendek itu mencoba sekali lagi dan tetap tidak nyala, ia pasrah.
Aku ke luar mendekat, “mogok pak?”
“Iya, mungkin karena hujan, tadi kerendam banjir juga,” jawab si bapak. Aku mengajaknya menepi ke depan warung, aku bantu mendorong motornya.
“Di luar saja mas, basah,” kata si bapak ketika aku mengajak ke dalam warung. Bibirnya menggigil biru. Khawatir memaksanya masuk hanya akan membuat kurang nyaman, aku bawakan dua kursi dan satu meja ke luar.
“Istirahat dulu pak, ini barangkali mau merokok,” setelah rokok kuletakan di atas meja, aku masuk untuk membuatkannya kopi. Semoga dengan secangkir kopi hitam membuat dia lebih hangat dan tenang.
Kopi sudah siap, aku keluar menghantarkan. Bungkus rokok punyaku belum berubah, rupanya ia mengeluarkan rokok nya sendiri. Jas hujan sudah ia lepaskan.
“Silahkan, pak!” ujarku menawarkan kopi. Kebahagiaan terbesarku sebagai penyeduh kopi adalah melihat orang menikmatinya, dan aku merasakannya sekarang. Rasa kesal sudah berkurang dari wajahnya, menyisakan sedikit kekhawatiran.
“Terima kasih, mas. Sepertinya motor harus istirahat dulu barang satu batang,” kata si bapak. Kemudian ia bercerita bahwa ia kehujanan semenjak berangkat dari kota, sempat berhenti lama di tengah perjalanan menunggu hujan reda.
“Sama pak, di sini juga dari tadi sore hujan besar banget. Warung jadi sepi," ujarku.
Bapak itu menoleh ke belakang, mata nya berkelana ke semua sudut warung. Kemudian ia bertanya, “buka usaha sendiri?”.
“Iya pak, baru tiga bulan. Enak kopinya?” balasku.
“Enak banget,” jawabnya. “hampir setiap hari saya lewat sini, tapi tak pernah mampir, biasanya ramai anak muda nongkrong yah.” Ia melanjutkan.
“Mulai sekarang mampir lah, hehe.” Balasku mulai akrab.
“Istri selalu menyediakan kopi setiap saya pulang,” balasnya, aku mengangguk paham.
“Pasti lebih nikmat kopi buatan istri, diracik dengan penuh cinta,” balasku memuji.
“Salah satu alasan kenapa aku tetap pulang meski hujan,” jawab si bapak, kami tersenyum bersama.
Hujan belum juga berhenti, jalan depan toko semakin banjir. Tidak ada satu pun kendaraan lewat. Pantulan cahaya lampu terlihat indah bergelombang di atas jalan yang teraliri air berwarna coklat. Aku rasa baru hujan tahun ini sampai menyebabkan banjir parah.
“Terkadang kita kesal saat kemarau begitu panjang, tapi begitu musim hujan tiba, kita justru kelabakan.” Kata si bapak, membuatku berhenti berpikir kenapa bisa sampai banjir.
“Benar juga ya, saat kemarau dulu kita minta turun hujan,” balasku.
“Aku ingin menarik ucapanku yang barusan.” Kata si bapak dengan nada serius.
“Maksudnya?” tanyaku heran.
“Motor mogok bukan karena hujan,” kata si bapak penuh kesadaran.
“Warung sepi bukan karena hujan,” aku mengikuti. Kami kembali tersenyum.
Si bapak kembali minum kopi, batang rokok sudah setengah terbakar. Kemudian obrolan semakin sedikit serius. Menurut si bapak, banjir ini bukan salah air. Hukum air adalah mengalir dari atas ke bawah, ketika sarana untuk mengalirnya air tidak ada, maka air tidak mengalir dan diam di tempat itu. Aku mencoba sedikit mengutarakan pendapat, “sekarang ketika membangun rumah, kita sering melupakan hal-hal penting.”
“Apa itu?” tanya si Bapak penasaran.
“Tempat buang sampah, tempat parkir, tempat mengalirnya air dan kepentingan pribadi lainnya. Sebenarnya orang tua kita dulu sudah mengajarkan semua hal itu.” Jawabku sambil mengenang obrolan dengan ayahku. Terlihat si bapak juga setuju.
Hujan tak lagi deras, gerimis tersisa. Satu batang rokok sudah dimatikan pada asbak.
“Sepertinya reda, aku coba nyalain motor dulu yah,” si bapak memulai dengan mengelap motornya terlebih dulu.
“Mari aku bantu,”
Motor tak mau menyala, aku tidak ada pengetahuan tentang mekanik, begitu pun dengan si bapak. Merasa motor tidak ada kemungkinan untuk menyala, aku menawarkan kepada si bapak untuk mengantarya sampai rumah. Motor si bapak diparkir di dalam warung. Warung aku tutup.
“Jangan, itu merepotkan. Aku pesan ojek online aja kalau pun motor harus dititipkan di sini.” Ujar si bapak. Kemudian aku panggil fery yang sedang main game di dalam warung. Dia temanku yang ikut membantuku.
Motor bebek si bapak kami titipkan ke Fery. Akhirnya ia mengalah dengan situasi. Ia terlebih dahulu menelpon istrinya yang sedang menunggu di rumah. Kami melaju sesuai yang diarahkan si bapak menuju rumahnya. Dengan scoopy aku menghantarkannya pulang. Jalanan banjir, harus lebih waspada terhadap lubang tak terlihat.
Perjalanan kami terhenti, jalan tertutup oleh pohon tumbang. Kami berdua turun dan membantu tiga orang warga, batang-batang pohon kami pindahkan satu persatu. Si bapak kembali menelpon istrinya, memberi kabar terbaru. Setelah semua selesai, salah satu warga menawarkan kami kopi. Si bapak menolak dengan alasan keluarganya sudah menunggu.
Jarak dari warung ke rumah si bapak hanya lima belas menit, namun menjadi lebih telat karena sempat terhenti. Begitu kami sampai di depan gerbang rumah, keluar seorang perempuan membawakan payung, ia segera membuka pintu gerbang.
“Jangan langsung pulang yah, masuk dulu!” pinta si bapak sambil membuka helm.
Ajakan si bapak tak begitu aku hiraukan, aku justru lebih fokus kepada perlakuan istrinya yang begitu penuh cinta. Ia terlihat bahagia melihat suaminya pulang. Tangan basah kuyup suaminya ia cium dengan penuh rasa hormat.
“Dede sudah tidur?” tanya si bapak kepada istrinya.
“Tadi dia nunggu ayah tapi ketiduran, akhirnya ibu angkat ke kamar.” Jawab istrinya.
“Ini mas pemilik warung kopi yang di simpang jalan, motor ayah dititipkan di warungnya,” si bapak mengenalkan aku kepada istrinya. Aku mengangguk.
Istri si bapak menunggu suaminya untuk masuk terlebih dulu.
“Di luar saja pak, basah,” aku senggan untuk masuk.
“Basah bukan masalah,” jawab si bapak. Aku jadi berpikir kenapa tidak memberikan jawaban ini di warung tadi, justru membiarkan si bapak di luar, sangat tidak sopan. Kemudian kami masuk, si bapak mempersilahkan aku untuk duduk di ruang tamu.
Ia kembali dan membawakan aku handuk, meminta aku untuk menunggu kopi buatan istrinya.
“Oh iya, aku belum tahu namamu?” tanya si Bapak. Wajahnya terlihat lebih segar dan penuh semangat, berbeda terbalik ketika menghadapi motor bebeknya mogok.
“Duta.” Aku mengenalkan diri, sedangkan si bapak mempunyai nama Suardiman, biasa dipanggil Pak Suardi.
Tidak lama kemudian istri Pak Suardi membawakan dua cangkir kopi. “Silahkan, mas!” dengan lembut menawarkan kopi. Aku jawab terima kasih, dan istrinya kembali masuk meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Kopi racikannya benar-benar nikmat, mungkin bukan hanya sekedar racikan, suasana juga mendukung.
“Nikmat pak kopinya, pantas saja bapak selalu pulang. Seperti kopi buatan bapak ku di rumah,” memori ku melayang ke masa dimana aku menunggu hujan reda bersama bapak di teras rumah.
“Bukan hanya tentang kopi. Pulang adalah keharusan, obat penghilang lelah paling mujarab.” Kata Pak Suardi. Baginya rumah adalah tempat terindah, kemana pun kita pergi, pada akhirnya kita harus dan akan pulang. Siapapun yang tak pernah pulang, akan dihinggapi kegelisahan. Seperti banjir malam ini, air bingung kemana jalan pulang.
Perkataan Pak Suardi sungguh masuk ke relung hati. Sudah lama aku tak pulang, sudah lama pula kegelisahan selalu datang. Aku hanya menghibur diri bahwa semua ini adalah kerasnya kehidupan.
“Kamu asli orang sini?” ia bertanya.
“Bukan pak, tinggal di sini sudah lima tahun lebih,” jawabku. Kemudian kami mulai ngobrol, aku bercerita dari awal aku ada di sini sampai sekarang punya warung kopi sendiri.
Obrolan terhenti ketika Pak Suardi menanyakan satu hal, “kapan terakhir pulang, menikmati kopi buatan bapakmu?”.
Komentar
Posting Komentar