"Filosofi Kafir dalam Al-Qur'an: Analisis Hermenutik Schleiermacher" adalah sebuah judul karya tulisku yang kemudian dimuat oleh jurnal Tashwirul Afkar
Cover Jurnal Afkar
Untuk teman teman yang hendak membacanya silahkan ke link berikut:
Dunia dengan arus digital yang semakin mendominasi manusia menjadi haus validasi, maka apapun akan diperingati, untuk narsis di media sosial bahwa ia masih hidup dan ia tidak gagap informasi. “Kirim foto yang tadi yah!” Begitu kalimat yang pasti ada bahkan menjadi utama ketika selesai melakukan kegiatan apa pun. Segera diposting ke media sosialnya masing-masing dengan caption yang template mengikuti postingan orang lain, serta diiringi backsound lagu yang sedah viral. Untuk yang tidak ikut merayakan biasanya mengupload ulang postingan orang lain. Ketika ada peringatan momen atau hari besar yang penting posting, esensi tak lagi penting, toh besok juga posting yang lain. Kita menjadi haus konten supaya tak terlihat tertinggal. Apakah kita tertinggal dengan tidak ikut memposting kejadian viral seperti orang lain? Apakah kita terlihat kurang pengetahuan ketika tidak ikut membagikan?
Malam ini gerimis masih turun, orang-orang sudah tertidur, sunyi. Pikiranku ingin menuliskan sesuatu, lalu aku duduk di halaman membuka note di ponsel dan mulai menulis. Basi gak sih jika aku membahas cinta di usia 31? Aku pernah benar-benar mencintai hanya kepada dua perempuan. Pertama cintaku tak terbalas, kedua aku membalas cinta. Setelah itu tidak lagi aku merasakan jatuh cinta. Aku sempat berpikir mungkin karena aku masih berharap dengan cinta pertamaku. Tetapi perlahan aku bisa mengikhlaskan, aku anggap itu sebuah kenangan indah, selebihnya aku pasrah apakah ditakdirkan kembali atau tidak. Untuk cinta yang aku balas aku sudah benar-benar mengikhlaskan karena dia sudah dipinang lelaki lain. Aku juga mendoakan yang terbaik untuknya, pun sebaliknya dia mendoakanku untuk segera bertemu jodoh. Perihal bertemu jodoh, aku sudah berusaha mencari, mendekati perempuan yang aku rasa aku bisa jatuh cinta kepadanya, nyatanya Tidak. Ketika aku belum mencintainya, eh mereka sudah mencintai yang...
Senja itu surya perlahan tenggelam, lembayung menggantung melukis cakrawala di atas debur ombak, bergerak membasahi pasir pantai. Di tepian pantai, aku menemani bapak hendak pergi bernelayan. Membantu mengangkut jala dan tambang ke atas perahu. Perahu dengan suara bising mesin yang sudah akrab di telinga bapak, walau jelas menggganggu. Setiap petang hingga pagi, bapak hidup di atas perahu kecil yang disewa dari Pak Burhan, juragan kapal di kampungku. “Makasih nak, kapan kamu ikut bapak mencari ikan lagi?” tanya bapak. “Nanti saja pak, sekiranya kuliahku libur panjang,” penuh sopan aku menjawab. Aku melihat kekecawaan di balik senyum bapak. Terakhir aku ikut bernelayan saat aku masih sekolah menengah pertama. Aku mencium punggung tangan bapak yang kurus berkeringat. Tenaga bapak berkurang seiring bertambahnya usia. Pernah aku menasihati bapak untuk tidak melaut lagi melihat kesehatannya, tak pernah bapak mau menghiraukan. Bagi bapak, laut sudah memberikan banyak kehidupan, ma...
Komentar
Posting Komentar