(Tak) Semua Harus Diceritakan

Oleh: Hamdancha

Karena hidup maka aku mengalami banyak hal. Kejadian yang aku alami mungkin juga dialami oleh banyak orang. Ada juga yang aku rasa hanya aku yang mengalaminya. Istilah rumput tetangga lebih hijau semakin aku mengerti.


Istilah atau nasihat-nasihat yang dulu hanya aku iyakan sekarang harus aku yakini memang begitu, sialnya aku tidak belajar dari dulu untuk apa nasihat itu lahir? Bukankah ada banyak palajaran pada sebuah cerita.


Cerita yang ditulis tentu bukan tanpa alasan kenapa cerita itu sampai sekarang masih bisa dibaca, nasihat tulus dari si penulis bisa jadi sangat berperan. Mereka bercerita agar pembaca menyadari bagaimana hidup ini berputar.


Beberapa putaran bagian kehidupan terulang kembali. Sikap durhaka malin Kundang terhadap ibunya banyak terjadi belakang ini, perjodohan ala siti Nurbaya, cinta gila Qais kepada Laila, sampai kesusahan Kartini memperjuangakan emansipasi wanita. Semua kisah dibalik cerita itu bukan hanya bagian masa lalu, banyak terjadi lagi belakangan ini.


Akhir-akhir ini aku hanya menulis ketika aku merasa ingin menulis bahkan banyak ide tulisan yang hanya ditulis sebatas ide, paling cuma satu alinea setelah itu dibiarkan tak seleasai. Karena aku merasa tak semua harus diceritakan.


Aku yang suku bercerita lewat tulisan dari SD dulu mulai menyadari bahwa hanya tulisan yang membuatku aku hidup, dulu aku bahagia dengan menuliskan bagaimana aku senang bisa memetik pepaya di kebun, aju sangat bahagia bisa menuliskan cerita tentang kehidupan kecilku di malam hari setiap tengah bulan. Aku tidak pernah berpikir tulisanku ini dibaca siapa, intinya aku bercerita. Kertas dan pena menjadi temanku.


Ketika tak ada teman untuk bertukar suka duka, menulis seperti terapi pikiran untuk ku. Aku ingat dulu pernah ditinggalkan seorang soulmate, sampai akhirnya aku hanya bisa menulis. Sialnya dikemudian hari dia membaca tulisanku. Dia bertanya, “apakah tulisanmu itu tentang aku.”


Aku yang tidak suka berbohong ketika menulis tentu menjawab, “iya”


Lidahku bisa berbohong tapi tanganku tak mungkin berbohong ketika menulis. Berbohong dalam tulisan hanyakan membuat aku menyesal. Bukannya terapi pikiran, berbohong dalam menulis berasa menyakitkan.


Karena kejadian itu aku mulai belajar bahwa tak semua harus diceritakan. Alhasil aku berhenti menulis. Berhenti menulis itu tidak enak, sama saja ketika kalian menyukai sesuatu dan harus berhenti melakukannya. Aku bahkan pernah satu malam menulis dalam satu kertas dan membakarnya di pagi hari,


Singkat cerita aku melihat sebuah foto yang dikirimkan oleh seorang soulmate. Aku tahu ia suka memotret, maka hasil jepretan yang ia bagikan tentunya sangat bermakna baginya.


Pada foto yang ia kirimkan tertulis sebuah kalimat, “teruslah menulis, untuk siapa pun itu.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memilih

5 Cara Jatuh Cinta Pada Buku

Ketika Sepi