Sejarah Hijrah dan Fenomenanya
Umat muslim di seluruh dunia tidak lama lagi akan merayakan tahun baru hijriyah. Pergantian tahun dalam kalender islam, tepatnya pada tanggal 1 Muharam 1439 Hijriyah atau tanggal 21 September 2017 pada kalender Masehi. Asal-usul hijriyah ditetapkan menjadi tahun islam adalah karena pada tahun itu Nabi Muhammad SAW dan umatnya melakukan hijrah, salah satu peristiwa besar dalam sejarah islam. Hijrah sendiri merupakan momentum awal kebangkitan islam.
Inisiatif membuat kalender Islam ini dikemukakan oleh seorang sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy’ari. Suatu hari Abu Musa mengirim surat kepada Umar bin Khattab: “Engkau mengirim surat kepada kami, tetapi di dalamnya tidak ada tanggal.” Lalu umar mengumpulkan para sahabatnya, dan mengajak mereka berdiskusi soal ini. Sebagian berpendapat; “Awal tahun baru sebaiknya pada tanggal hari Nabi menjadi Rasul.” Sahabat lain mengusulkan; “Awal Hijrah Nabi.” Umar mengatakan: “Hijrah adalah momen menentukan kebenaran dan kebatilan. Maka kita tetapkan sebagai awal kalender Islam.”
Setelah disepakati, seorang sahabat menanyakan, “Apakah akan dimulai pada bulan Ramadhan!” Umar mengatakan, “Tidak, tapi bulan Muharram, karena bulan itu, para jamaah Haji sudah kembali ke daerahnya masing-masing.” Para sahabat menyepakati keputusan Umar. Penjelasan penetapan ini bisa kita lihat dalam buku karya K.H. Husein Muhammad yang berjudul “Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi.”
Apa itu Hijrah?
Secara literal hijrah berasal dari kata hajara. Al Mu’jam al-Wasith menyebutkan: hajara berarti taraka min makan ila makan (meninggalkan satu tempat menuju ke tempat lain dalam arti fisik). Selain itu, hijrah juga bisa diartikan dengan memisahkan diri atau juga menjauhkan diri. Kata hijrah bukan hanya sekedar berpindah tempat, namun dengan berbagai pertimbangan, seperti pertimbangan dakwah, ekonomi, maupun keamanan. Lebih dari itu ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu meninggalkan sesuatu yang negatif kepada se¬suatu yang positif.
Sementara al-Raghib aal-Isfahani dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an menyatakan bahwa kata hajara berarti mufaraqah al Insan ghairahu imma bi al badan aw bi al lisan aw bi al qalb (meninggalkan orang lain baik secara fisik, ucapan atau hati). Ini menunjukan bahwa hijrah menunjukan makna yang jauh lebih luas dari sekedar perpindahan fisik.
Selanjutnya Al-Isfahani mengemukakan makna terminologis hijrah sebagaimana dipahami banyak orang dewasa ini. Hijrah adalah keluar dari rumah atau wilayah kafir (dar al kufr) yang adalah bermakna kedzaliman menuju rumah atau wilayah iman (dar al iman), yang adalah bermakna aman dan damai.
Demikianlah tampak dengan jelas bahwa hijrah tidak dapat dimaknasi secara sederhana sebagai perpindahan tempat semata, melainkan sebuah langkah di dalamnya mengandung dimensi-dimensi kehidupan yang lebib luas, lebih luhur dan strategis. Hijrah Nabi bukanlah suatu sikap pengecut atas ketakutan kaum kafir Quraisy, melainkan dalam kerangka melanjutkan misi teologis, spiritual dan moral kemanusiaan.
Dalam berhijrah, sesorang haruslah didasari dengan niat yang baik dan kesungguhan yang tulus. Hal ini ditegaskan oleh Nabi SAW dalam haditsnya, “dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dia raih atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan niatnya.” Petikan hadits ini terdapat dalam kitab hadits arba’in nawawi yang pertama.
Baca Juga: Nabi Muhammad pun Tidak Diam
Tradisi Perayaan Tahun Baru Hijriyah
Sempat menjadi bahan perdebatan yang cukup lama, antara diperbolehkannya merayakan tahun baru Islam atau tidak. Di Indonesia sendiri, ada beberapa tradisi yang sering dilakukan untuk menyambuat tahun baru hijriyah, diantaranya Kirab Kebo Bule di Keraton Surakarta, Festival Tabot di Bengkulu, Tradisi Ledug Suro di Magetan, Tradisi Mubeng Beteng di Keraton Yogyakarta, dan Tradis Ngumbah Keris Masyarakat Jawa.
Selain dengan tradisi-tradisi di atas, perayaan tahun baru hijriyah juga sering diperingati di berbagai lembaga pendidikan. Mereka merayakannya dengan mengadakan berbagai perlombaan yang memiliki nilai keislaman, seperti lomba murotal qur’an, lomba ceramah, lomba sholawat dan sebagainya. Dalam kehidupan bermasyarakat juga tidak mau kalah, mereka mengadakan berbagai kegiatan untuk memperingati pergantian tahun baru hijriyah, seperti mengadakan tahlil bersama dan pengajian umum.
Dari semua peringatan perayaan tahun baru hijriyah di atas, semua memiliki nilai-nilai kemanusian. Tradisi seperti pawai obor atau pun festival dapat menumbuhkan rasa kebersamaan. Lomba-lomba yang diadakan dalam peringatan tahun baru Islam, juga memiliki nilai positif untuk meningkatkan pengetahuan seseorang tentang agamanya. Tahlil bersama dan pengajian umum yang dilakukan oleh masyarakat jelas merupakan suatu kebaikan. Lalu mengapa masih ada yang ngotot, bahwa perayaan peringatan tahun baru hijriyah ini tidak boleh, hanya karena alasan bahwa dulu Nabi tidak pernah melakukan, dan perayaan tahun baru justru dilakukan oleh agama lain. Bukankah setiap pekerjaan itu sesuai motivasinya, jika motivasinya baik maka menjadi baik pula pekerjaan tersebut.
Baca Juga: Menyebar Pesan Perdamaian Mulai dari Diri Sendiri
Belajar Kepada Peristiwa Hijrah
Jika kita mau berkaca kepada peristiwa hijrah Nabi SAW, di mana beliau berhasil menjadikan kota Madinah menjadi kota yang aman, nyaman dan sejahtera. Maka setidaknya ada tiga aspek yang dapat kite teladani, yaitu : kebersamaan, kesejahteraan dan prilaku kehidupan.
Pertama, aspek persatuan. Pada saat itu, di kota Madinah terdapat dua kaum, Anshor (pribumi) dan Muhajirin (pendatang), meski sama-sama muslim, bukan tidak mungkin akan terjadi perselisihan. Untuk itu, ketika Nabi SAW tiba di Madinah, yang pertama kali di lakukan adalah mendirikan Masjid Nabawi. Masjid pada waktu itu bukan hanya sekedar tempat ibadah, tapi juga tempat musyawarah dan bersatunya umat islam. Di dalam rumah tuhan, baik Anshor dan Muhajirin adalah sama, mereka semua adalah hamba Tuhan.
Kedua, aspek kesejahteraan. Peristiwa hijrah pun tidak hanya dinilai pada aspek sosial keagamaannya, tetapi juga strategi Nabi SAW dalam membangun ekonomi masyarakat Madinah. Nabi juga mendirikan sebuah pasar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Madinah. Jika hijrah berarti berpindah atau meninggalkan sesuatu ke tempat lain menuju ke tempat yang lebih baik. Maka hijrah Nabi SAW menegaskan proses penataan dan peningkatan kehidupan sosial, yang lebih baik secara spiritual maupun material.
Ketiga, aspek kemanusiaan. Sebuah negara akan menjadi aman dan nyaman, jika masyarakatnya berprilaku baik dan taat aturan. Untuk mewujudkan hal itu, Nabi bersama para penduduk Madinah merumuskan sebuah perjanjian bersama yang disebut Piagam Madinah. Piagam Madinah disebut-sebuta sebagai sebuah dokumen pertama di dunia tentang dasar-dasar Human Right, Hak-hak Asasi Manusia. Inti dari perjanjian itu meliputi aspek nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, sehingga dapat menyatukan sebuah masyarakat atau kelompok di balik sebuah perbedaan (agama, suku dan ras).
Baca Juga: Bagaimana Generasi Millenial Menikmati Kemerdekaan?
Hijrah Hari Ini
Hijrah dapat diartikan secara lebih luas. Makna hijrah dapat diimplementasikan ke dalam berbagai aspek kehidupan. Karena pentingnya hijrah, maka pemerintah terus menyerukan gerakan “revolusi mental,” yang sebenarnya kata lain dari hijrah, supaya terlihat lebih keren. Memang benar, sistem pemerintahan kita haruslah berhijrah menjadi lebih baik lagi. Misalnya, diawali dengan hijrahnya pola pikir para wakil rakyat. Sebagai wakil rakyat, hendaklah bertingkah sebagaimana orang yang mewakili apa yang dirasakan oleh rakyat.
Pada hari ini, setelah 1439 tahun yang lalu, kata hijrah sering kembali kita temukan, tidak sedikit selebritis yang menyatakan diri bahwa mereka telah melakukan hijrah, hal itu ditandai dengan pakaian lebih islami lengkap dengan jenggot (bagi laki-laki) dan cadar (bagi perempuan). Tampilan itu mengindikasikan kesungguhan mereka dalam berhijrah. Namun, hijrah janganlah hanya sebatas pakaian, tapi harus diselaraskan dengan prilaku yang lebih baik. Untuk apa kita berpakaian islami jika hanya untuk menyalahkan mereka yang tidak sama dengan kita.
Hijrah dapat diartikan secara lebih luas. Makna hijrah dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Bukan hanya tentang pakaian atau pun tempat saja, Hijrah juga berlaku dari pola pikir yang sempit dan merugikan kepada pola pikir yang berdasarkan kemanusiaan. Negara Indonesia yang multikultural, hendaklah belajar dari peristiwa hijrah Nabi. Tiga aspek yang telah dipaparkan di atas menjadi sangat penting untuk kita evaluasi bersama, demi terciptanya negara yang aman, nyaman dan sejahtera.***
Ditulis pada September 2017.
Inisiatif membuat kalender Islam ini dikemukakan oleh seorang sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy’ari. Suatu hari Abu Musa mengirim surat kepada Umar bin Khattab: “Engkau mengirim surat kepada kami, tetapi di dalamnya tidak ada tanggal.” Lalu umar mengumpulkan para sahabatnya, dan mengajak mereka berdiskusi soal ini. Sebagian berpendapat; “Awal tahun baru sebaiknya pada tanggal hari Nabi menjadi Rasul.” Sahabat lain mengusulkan; “Awal Hijrah Nabi.” Umar mengatakan: “Hijrah adalah momen menentukan kebenaran dan kebatilan. Maka kita tetapkan sebagai awal kalender Islam.”
Setelah disepakati, seorang sahabat menanyakan, “Apakah akan dimulai pada bulan Ramadhan!” Umar mengatakan, “Tidak, tapi bulan Muharram, karena bulan itu, para jamaah Haji sudah kembali ke daerahnya masing-masing.” Para sahabat menyepakati keputusan Umar. Penjelasan penetapan ini bisa kita lihat dalam buku karya K.H. Husein Muhammad yang berjudul “Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi.”
Apa itu Hijrah?
Secara literal hijrah berasal dari kata hajara. Al Mu’jam al-Wasith menyebutkan: hajara berarti taraka min makan ila makan (meninggalkan satu tempat menuju ke tempat lain dalam arti fisik). Selain itu, hijrah juga bisa diartikan dengan memisahkan diri atau juga menjauhkan diri. Kata hijrah bukan hanya sekedar berpindah tempat, namun dengan berbagai pertimbangan, seperti pertimbangan dakwah, ekonomi, maupun keamanan. Lebih dari itu ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu meninggalkan sesuatu yang negatif kepada se¬suatu yang positif.
Sementara al-Raghib aal-Isfahani dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an menyatakan bahwa kata hajara berarti mufaraqah al Insan ghairahu imma bi al badan aw bi al lisan aw bi al qalb (meninggalkan orang lain baik secara fisik, ucapan atau hati). Ini menunjukan bahwa hijrah menunjukan makna yang jauh lebih luas dari sekedar perpindahan fisik.
Selanjutnya Al-Isfahani mengemukakan makna terminologis hijrah sebagaimana dipahami banyak orang dewasa ini. Hijrah adalah keluar dari rumah atau wilayah kafir (dar al kufr) yang adalah bermakna kedzaliman menuju rumah atau wilayah iman (dar al iman), yang adalah bermakna aman dan damai.
Demikianlah tampak dengan jelas bahwa hijrah tidak dapat dimaknasi secara sederhana sebagai perpindahan tempat semata, melainkan sebuah langkah di dalamnya mengandung dimensi-dimensi kehidupan yang lebib luas, lebih luhur dan strategis. Hijrah Nabi bukanlah suatu sikap pengecut atas ketakutan kaum kafir Quraisy, melainkan dalam kerangka melanjutkan misi teologis, spiritual dan moral kemanusiaan.
Dalam berhijrah, sesorang haruslah didasari dengan niat yang baik dan kesungguhan yang tulus. Hal ini ditegaskan oleh Nabi SAW dalam haditsnya, “dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dia raih atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan niatnya.” Petikan hadits ini terdapat dalam kitab hadits arba’in nawawi yang pertama.
Baca Juga: Nabi Muhammad pun Tidak Diam
Tradisi Perayaan Tahun Baru Hijriyah
Sempat menjadi bahan perdebatan yang cukup lama, antara diperbolehkannya merayakan tahun baru Islam atau tidak. Di Indonesia sendiri, ada beberapa tradisi yang sering dilakukan untuk menyambuat tahun baru hijriyah, diantaranya Kirab Kebo Bule di Keraton Surakarta, Festival Tabot di Bengkulu, Tradisi Ledug Suro di Magetan, Tradisi Mubeng Beteng di Keraton Yogyakarta, dan Tradis Ngumbah Keris Masyarakat Jawa.
Selain dengan tradisi-tradisi di atas, perayaan tahun baru hijriyah juga sering diperingati di berbagai lembaga pendidikan. Mereka merayakannya dengan mengadakan berbagai perlombaan yang memiliki nilai keislaman, seperti lomba murotal qur’an, lomba ceramah, lomba sholawat dan sebagainya. Dalam kehidupan bermasyarakat juga tidak mau kalah, mereka mengadakan berbagai kegiatan untuk memperingati pergantian tahun baru hijriyah, seperti mengadakan tahlil bersama dan pengajian umum.
Dari semua peringatan perayaan tahun baru hijriyah di atas, semua memiliki nilai-nilai kemanusian. Tradisi seperti pawai obor atau pun festival dapat menumbuhkan rasa kebersamaan. Lomba-lomba yang diadakan dalam peringatan tahun baru Islam, juga memiliki nilai positif untuk meningkatkan pengetahuan seseorang tentang agamanya. Tahlil bersama dan pengajian umum yang dilakukan oleh masyarakat jelas merupakan suatu kebaikan. Lalu mengapa masih ada yang ngotot, bahwa perayaan peringatan tahun baru hijriyah ini tidak boleh, hanya karena alasan bahwa dulu Nabi tidak pernah melakukan, dan perayaan tahun baru justru dilakukan oleh agama lain. Bukankah setiap pekerjaan itu sesuai motivasinya, jika motivasinya baik maka menjadi baik pula pekerjaan tersebut.
Baca Juga: Menyebar Pesan Perdamaian Mulai dari Diri Sendiri
Belajar Kepada Peristiwa Hijrah
Jika kita mau berkaca kepada peristiwa hijrah Nabi SAW, di mana beliau berhasil menjadikan kota Madinah menjadi kota yang aman, nyaman dan sejahtera. Maka setidaknya ada tiga aspek yang dapat kite teladani, yaitu : kebersamaan, kesejahteraan dan prilaku kehidupan.
Pertama, aspek persatuan. Pada saat itu, di kota Madinah terdapat dua kaum, Anshor (pribumi) dan Muhajirin (pendatang), meski sama-sama muslim, bukan tidak mungkin akan terjadi perselisihan. Untuk itu, ketika Nabi SAW tiba di Madinah, yang pertama kali di lakukan adalah mendirikan Masjid Nabawi. Masjid pada waktu itu bukan hanya sekedar tempat ibadah, tapi juga tempat musyawarah dan bersatunya umat islam. Di dalam rumah tuhan, baik Anshor dan Muhajirin adalah sama, mereka semua adalah hamba Tuhan.
Kedua, aspek kesejahteraan. Peristiwa hijrah pun tidak hanya dinilai pada aspek sosial keagamaannya, tetapi juga strategi Nabi SAW dalam membangun ekonomi masyarakat Madinah. Nabi juga mendirikan sebuah pasar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Madinah. Jika hijrah berarti berpindah atau meninggalkan sesuatu ke tempat lain menuju ke tempat yang lebih baik. Maka hijrah Nabi SAW menegaskan proses penataan dan peningkatan kehidupan sosial, yang lebih baik secara spiritual maupun material.
Ketiga, aspek kemanusiaan. Sebuah negara akan menjadi aman dan nyaman, jika masyarakatnya berprilaku baik dan taat aturan. Untuk mewujudkan hal itu, Nabi bersama para penduduk Madinah merumuskan sebuah perjanjian bersama yang disebut Piagam Madinah. Piagam Madinah disebut-sebuta sebagai sebuah dokumen pertama di dunia tentang dasar-dasar Human Right, Hak-hak Asasi Manusia. Inti dari perjanjian itu meliputi aspek nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, sehingga dapat menyatukan sebuah masyarakat atau kelompok di balik sebuah perbedaan (agama, suku dan ras).
Baca Juga: Bagaimana Generasi Millenial Menikmati Kemerdekaan?
Hijrah Hari Ini
Hijrah dapat diartikan secara lebih luas. Makna hijrah dapat diimplementasikan ke dalam berbagai aspek kehidupan. Karena pentingnya hijrah, maka pemerintah terus menyerukan gerakan “revolusi mental,” yang sebenarnya kata lain dari hijrah, supaya terlihat lebih keren. Memang benar, sistem pemerintahan kita haruslah berhijrah menjadi lebih baik lagi. Misalnya, diawali dengan hijrahnya pola pikir para wakil rakyat. Sebagai wakil rakyat, hendaklah bertingkah sebagaimana orang yang mewakili apa yang dirasakan oleh rakyat.
"Hijrah membutuhkan kesungguhan dan kerja nyata, jangan hanya berhenti pada ucapan belaka."
Hijrah dapat diartikan secara lebih luas. Makna hijrah dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Bukan hanya tentang pakaian atau pun tempat saja, Hijrah juga berlaku dari pola pikir yang sempit dan merugikan kepada pola pikir yang berdasarkan kemanusiaan. Negara Indonesia yang multikultural, hendaklah belajar dari peristiwa hijrah Nabi. Tiga aspek yang telah dipaparkan di atas menjadi sangat penting untuk kita evaluasi bersama, demi terciptanya negara yang aman, nyaman dan sejahtera.***
Ditulis pada September 2017.
Komentar
Posting Komentar