Menyebar Pesan Perdamaian Mulai dari Diri Sendiri

Hari Perdamaian Internasional (International Day of Peace) diperingati setiap tanggal 21 September, berdasarkan ketetapan dari Majelis Umum PBB melalui Revolusi Nomot 55/282 Tahun 1981. Baru pada Tahun 1982, Hari Perdamaian Internasional untuk pertama kalinya diperingati. Ini adalah hasil dari upaya para pemimpin dunia untuk menghentikan peperangan.

Untuk membuka hari peringatan ini, Lonceng Perdamaian PBB dibunyikan di Markas Besar PBB (di Kota New York). Lonceng tersebut dibuat dari koin-koin yang disumbangkan oleh anak-anak dari seluruh benua selain Afrika, dan merupakan hadiah dariAsosiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dari Jepang, sebagai pengingat atas korban manusia akibat peperangan. Pada salah satu sisinya tertulis, “Long live absolute world peace” (Panjang umur perdamaian dunia sepenuhnya).

Isu perdamaian sedang menjadi pembicaraan publik dunia akhir-akhir ini, diantara penyebabnya adalah konflik yang muncul di Rakhine State, Myanmar. Belum lagi dengan konflik di Palestina yang tidak kunjung usai. Harapan tentang isu perdamaian sempat menjadi besar, sesaat setelah Antonio Gueters ditunjuk menjadi Sekretaris Jendral PBB yang baru, menggantikan Ban Ki Mon yang masa jabatannya berakhir pada 31 Desmber 2016.

Pada saat itu, seperti dikutip dari Daily News&Analysis, Guterres akan fokus pada kesetaraan gender, perlindungan, dan pemberdayaan perempuan. Sementara First Post yang meneruskan laporan The Associated Press, menyebutkan bahwa Sekjen baru PBB mengatakan perdamaian adalah prioritas utama. Pemerintah Indonesia juga berharap PBB di bawah kepemimpinan Guterres, bisa mengadopsi pendekatan baru untuk merespons secara efektif krisis kemanusiaan, seraya memperkuat upaya pencegahan dan perlindungan.

Peran Indonesia
Indonesia tengah gencar mempromosikan diri menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Mentri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, dalam satu kesempatan mengatakan tema Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB adalah 'True Partner for World Peace'. Dari tema ini, Indonesia akan menunjukkan wajah diplomasi Indonesia untuk menciptakan perdamaian. "Tagline kita untuk keanggotaan DK PBB bertujuan untuk memperlihatkan wajah Indonesia yang menciptakan perdamaian," ujar Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi.

Indonesia aktif memberikan dukungan kepada korban kemanusiaan di Rohingya. Indonesia juga selalu menjadi negara yang mendukung kemerdekaan bangsa lain. Indonesia sangat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Dalam kesempatan yang sama, Menlu Retno menuturkan perjuangan membantu Palestina mendapatkan hak-hak kemerdekaannya masih panjang dan banyak tantangan yang harus dihadapi ke depannya. Namun, Indonesia terus melakukan sesuatu untuk membantu Palestina tidak peduli jalanan di depan berbatu dan terjal. Perhatian Indonesia terhadap Palestina bukanlah sebatas perkataan saja, itu bisa terlihat dengan apresiasi warga Palestina terhadap Indonesia di berbagai kesempatan.

Jauh sebelum sekarang ini, Indonesia selalu ikut peran dalam isu perdamaian dunia. Pada tahun 1955, Indonesia menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA). Konferensi ini digelar sepuluh tahun setelah Perang Dunia II berakhir. Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Gedung Merdeka Bandung pada tanggal 18 April 1955, melahirkan suatu kesepakatan bersama yang merupakan pokok-pokok tindakan dalam usaha menciptakan perdamaian dunia.

Dalam tata pergaulan internasional, perjuangan bangsa dilaksanakan atas dasar semboyan “percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri”. Dengan semboyan ini Bangsa Indonesia mampu menjalin hubungan dengan negara-negara lain di dunia secara baik. Berdasarkan hal tersebut dan dalam rangka menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif.

Bebas, artinya bebas menentukan sikap dan pandangan terhadap masalah-masalah internasional dan terlepas dari ikatan kekuatan-kekuatan raksasa dunia yang secara ideologis bertentangan (Timur dengan faham Komunisnya dan Barat dengan faham Liberalnya).
Aktif, artinya dalam politik luar negeri senantiasa aktif memperjuangkan terbinanya perdamaian dunia. Aktif memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan. Aktif memperjuangkan ketertiban dunia. Aktif ikut serta menciptakan keadilan sosial dunia.

Peran Diri Sendiri
Setelah mengetahui pemaparan di atas, kini pertanyaanya adalah apa peran kita dalam ikut serta mewujudkan perdamaian dunia? Mewujudkan perdamaian dunia bukanlah perkara mudah, namun bukan juga berarti perkara yang mustahil. Dalam menciptakan perdamaian dunia, perlu peran dari berbagai pihak, yang utama adalah peran diri kita sendiri.

Menciptakan rasa saling mencintai di lingkungan kita adalah sesuatu yang harus dilakukan, tidak mudah membenci orang dan suka memaafkan. Tidak fanatik terhadap satu golongan, karena pada akhirnya hanya akan saling ujar kebencian antara rival dari golongan yang kita bela. Ada kabar membahagiakan di tahun ini, dua kelompok pendukung sepakbola yang bertahun-tahun kerap kali terlibat konflik, akhirnya sepakat untuk berdamai. Perdamaian itu didasari oleh sikap dewasa masing-masing kelompok, setelah ada korban meninggal akibat bentrokan yang terjadi, mereka sadar bahwa permusuhan harus segera diakhiri, jangan sampai ada korban lagi dan lagi.

Baca Juga : Bagaimana Generasi Millenial Menikmati Kemerdekaan?

Pada masa kini di era globalisasi teknologi, media masa dengan segala kekuasaanya sangat berpengaruh terhadap kekerasan yang sering terjadi. Masih ingat dalam benak kita, pada awal tahun 2017, dua desa di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu terlibat konflik gara-gara hoax yang tersebar di Facebook. Konflik berawal dari sebuah akun Facebook dari satu desa, menyebutkan bahwa seorang warga desanya tewas akibat dikeroyok warga desa tetangga. Setelah ditelusuri kebenarannya, berita yang disebarkan tersebut merupakan kabar bohong, sebab orang yang meninggal sebenarnya merupakan korban kecelakaan.

Di ranah ilmu komunikasi, kita mengenal satu teori ‘menakutkan’ tentang media massa. Yakni, teori Agenda Setting yang dikenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw (1973).

Mereka menyatakan bahwa media massa (khususnya arus utama) selalu berhasil menggiring pemirsa untuk berpikir seperti apa yang mereka (media massa) inginkan. 

Masyarakat modern terjebak dalam pencarian kebenaran yang justru menyeret ke arena pertarungan kekuasaan. Kebenaran diidentikan dengan keunggulan. Lalu ia menjadi ajang pendakuan, serta pembuktian hubungan pengetahuan-kekuasaan, pencarian masa dan pengakuan sosial. Maka tidak heran bahwa kekerasan atas nama agama masih saja terjadi.

Kebenaran yang dicari bukan membawa ke perdamaian, namun konflik, ketakutan dan diskriminasi. Pencarian kebenaran tidak mampu memperluas lingkup kebebasan, namun justru mempertajam fanatisme dan radikalisme kelompok. Bahkan kehidupan masyarakat didikte dengan penuh rekayasa. Perlawanan struktural seakan sudah dilumpuhkan oleh cara berpikir pragmatis yang cenderung monokausal, tidak sistemik dan dibungkus kepuasan segera.

Sebagai pengguna media masa, kita harus bijak dalam menyikapi berbagai macam berita. Media masa merupakan tempat yang strategis untuk menyulut api kebencian. Hanya dengan sekali baca, orang akan dengan mudahnya ikut terbawa emosi, terlebih untuk orang-orang yang fanatik terhadap satu kelompok tertentu. Isu sara sering kali digunakan untuk menyulut api kebencian, dan karena sikap fanatisme itu maka konflik susah untuk dihindari.

Kita tidak boleh menjadi korban adu domba berita hoax. Jangan telan mentah-mentah terhadap satu berita, lebih teliti dengan melakukan tabayun terhadap kebenaran suatu berita. Media masa tidak boleh mengendalikan kita, sebaliknya kita yang harus mengendalikannya. Memanfaatkan kecanggihan media masa untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Dengan permulaan langkah kecil kita ini, semoga dunia tak lagi dipenuhi kebencian, melainkan penuh cinta damai.***




Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Cara Jatuh Cinta Pada Buku

Ketika Sepi

Introspeksi